Friday, December 17, 2010

Wish Without Clover


Aku sudah dewasa. Umurku sudah 23 tahun. Iya… sudah tumbuh menjadi wanita dewasa. Aku belajar sungguh-sungguh saat sekolah. Belajar, mengejar prestasi, dan coba-coba pacaran saat kuliah. Dan sekarang telah mandiri dengan bekerja. Aku merasa seperti itu.
Tapi jangan pernah tanya begini sama ayahku “Sarah sekarang udah besar yah pak?” Jawabannya akan selalu “Ah… Enggak. Masih manja.” Dan akan selalu seperti itu entah sampai kapan.
Ayah selalu setia dengan fikiran bahwa -You’re just my little girl- dan aku juga mencoba menyukai kata-kata itu setiap saat.
Suatu pagi aku pernah protes dari balik selimut, saat ayah melakukan rutinitas paginya : masuk ke kamarku, buka tirai, buka jendela kamar, matikan lampu, dan membiarkan aku terbangun karena cahaya matahari. “Ayah kok masuk-masuk kamarku terus sih? Aku kan udah gede.”
Ayah jawab dengan santai “Oh… jadi mentang-mentang kamu udah gede, ayah gak boleh masuk kamar kamu lagi?”
Membuatku benar-benar lebih baik tidur lagi ketimbang berdebat.
Aku diberikan kebebasan penuh sekarang. Tapi tidak seutuhnya. Ayah bilang kebebasan ada karena tanggung jawab. Orang yang sudah mampu bertanggung jawab, maka dia bisa diberi kebebasan dirumah ini. Jadi bebas, bukan bablas.

Aku sendiri baru diberikan kebebasan untuk apapun pada umur 20 tahun. Setelah membuktikan aku mampu bertanggung jawab pastinya.
Sebelumnya, ayah dan ibu cinta mati sama aku, sampai-sampai pulang pergi ke sekolah diantar jemput –kecuali SMA, namun tetap harus pulang tepat waktu. Sama sekali tidak boleh mengenal kata pacaran. Tidak ada istilah pulang malam. Malam hanya digunakan untuk belajar, termasuk malam minggu. Saat mulai beranjak dewasa, setiap aku pergi bareng teman-teman, ayah selalu menungguku pulang didepan rumah. Dia tidak akan tidur duluan. Dan banyak lagi aturan untuk anak perempuan yang sedang beranjak dewasa lainnya.
Tapi aku sama sekali tidak pernah sedih karena itu. I always enjoy and have fun. Dan karena masa-masa yang penuh keterbatasan itu, kebebasan yang sudah diberikan sekarang menjadi terasa lebih spesial.
Dulu ayah sama sekali nggak pernah mau dengar dan tau apa aku sedang jatuh cinta? Kepada siapa aku jatuh cinta? Kata ayah, aku masih kecil, dan anak kecil tidak boleh jatuh cinta.
Sekarang, ayah malah selalu mau tahu siapa laki-laki yang kucintai, dan mengkhawatirkanku jika aku berada dikamar saja saat malam minggu. Ayah pasti nanya “Lagi berantem?” dengan wajah serius. Lucu dan menggelikan rasanya.
Ini terjadi beberapa minggu yang lalu. Sesaat setelah pertanyaan lucu di malam minggu itu, aku dan ayah duduk berdua di teras. Sambil merokok ayah tanya “Kamu masih ingat cerita si pangeran buta dan empat daun semanggi?”
Aku terdiam sebentar. Mencari sisi memoriku dan Yap…! right there. Mana mungkin aku lupa. Ayah sudah mencekoki kepalaku sejak umur 3 tahun dengan cerita itu.
Jika aku tahu hari itu ayah pulang kerja sore, bukan malam. Aku selalu senang. Karena kami punya ritual spesial. Duduk diruang tv dengan meja kayu kecil bergambar tweety yang diatasnya terpampang buku besar tebal kumpulan dongeng anak-anak. Dan ayah, selalu dan selalu membacakan cerita “The Blind Prince and The Four-Leaf Clover”
Kira-kira begini…
Disebuah negeri antah berantah, hiduplah seorang pangeran buta kesepian yang tidak pernah diizinkan raja dan ratu keluar dari istana karena menjadi aib. Dia hanya memiliki teman seekor ikan mas kecil di kolam istana. Ikan mas ajaib ini selalu setia menjadi tempat berkeluh kesah, bercanda, dan bersedih.
Suatu hari ikan mas tidak ceria seperti biasanya. Ia tampak murung. Walau pangeran tidak bisa melihatnya. Namun dia dapat merasakannya.
Lantas pangeran bertanya “Wahai ikan mas ku yang cantik, kenapa suaramu terdengar murung? Apa kau sedang bersedih?”
Ikan mas menjauh, berenang ke sudut kolam, mencoba menyembunyikan aura sedihnya.
“Mengapa kau menjauh dariku?”
“Bagaimana kau bisa tahu aku menjauh?” tanya ikan mas.
“Apa kau lupa? Aku belajar merasakan arah angin. Walaupun aku buta, aku tahu apa yang terjadi disekitarku. Sini… mendekatlah. Katakan mengapa?”
Ikan mas kembali mendekat, bersiap menumpahkan semua kesedihan. “Sebenarnya aku adalah seorang putri. Kerajaanku dihancurkan. Hanya aku satu-satunya keturunan yang masih hidup. Namun, aku dikutuk penyihir jahat menjadi ikan. Aku ingin kembali menjadi putri, pangeran. Aku ingin menjadi manusia lagi.”
“Me-nga-pa?” tanya pangeran terbata karena terkejut.
“Karena aku mencintaimu.” Jawab ikan mas.
Pangeran merasa sangat sedih mengetahui kenyataan itu. Ternyata seekor ikan mas yang selama ini mengisi kesepiannya adalah seorang putri. Namun pangeran tertantang setelah ikan mas mengatakan syarat untuk dia dapat kembali menjadi manusia lagi. Jika ada seseorang yang mampu mendapatkan Clover berdaun empat. Maka ia dapat meminta apapun yang diinginkan.
Pangeran buta itu keluar dari istana megahnya. Mencari dan terus mencari. Memasuki hutan rimba, menerjang hujan dan panas, berkali-kali jatuh dan bangkit lagi. Namun setiap tangannya meraba, yang dirasakannya hanya Clover berdaun tiga.
Sampai suatu hari pencarian itu menemukan ujungnya. Cinta pangeran mencapai tujuannya. The Four-Leaf Clover pun ditemukan.
Dengan tertatih-tatih ia kembali ke istana, bermohon ikan mas nya dikembalikan menjadi putri. Dan pangeran pun dapat kembali melihat dunia. Bukan dengan hatinya, namun dengan kedua mata coklatnya.
Lalu kisahpun dikahiri seperti kata-kata dalam dongeng pada lazimnya : …and they’re live happily ever after…

Waktu aku kecil ayah selalu bilang. Semanggi berdaun empat memang nyata, bukan sekedar dongeng. Daun ini tumbuh di Irlandia dengan simbol kepercayaan :
One leaf is for love be mine.
The second for health.
The third for honor, glory.
The fourth for riches.

Tapi ayah selalu menekankan, ini bukan tentang Clover. Ini tentang perjuangan. Kau tidak bisa melihat pelangi tanpa kehujanan dulu.

Malam itu, di teras rumah. Ayah bilang, jangan takut jatuh, jika memang kamu sedang jatuh cinta.
Seiring berkali-kalinya dongeng ini ayah ceritakan. Semakin banyak contoh perjuangan yang dapat kuartikan. Tidak hanya tentang cinta. Tapi hidup itu sendiri.
Malam ini, aku tertegun melihat ayahku. Dia tetap menungguku saat pulang larut malam dari kantor, tertidur di sofa panjang didepan tv. Aku merasa menjadi anak kecil dalam kedewasaan. Ayah bukan sekedar belum tidur karena nonton tv. Aku salah. Ternyata ayah memang menungguku.
Kupikir rutinitas menungguku telah berhenti sama seperti rutinitas membacakan dongeng The Blind Prince and The Four-Leaf Clover.

Tanpa Four-Leaf Clover, aku memohon pada Tuhan. Aku tidak ingin kehilangan serangkaian rutinitas ini : masuk ke kamar dan menyuguhkan matahari lewat jendelaku pagi-pagi, menganggapku selalu ‘gadis kecil’nya, menungguku pulang kerumah hingga larut malam, memberiku kebebasan yang indah, mencintai ibu, aku dan adik-adikku, menunjukkan pada kami bagaimana perjuangan cinta yang sesungguhnya.
(Perjuanganku lewat doa)

Tuesday, November 30, 2010

Kala Cahaya


Kurebahkan tubuh lelahku disalah satu sofa resto ini. Kulirik jam dengan ekor mataku, satu jam lagi, batinku menjawab. Cukup untuk mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada selama satu tahun ini. Aku terus mengingat, khawatir ada yang terlupa.

Kalau sehari saja aku selalu bertanya lima kali, maka nanti akan keluar 1825 pertanyaan yang harus dijawabnya untuk menghabiskan rasa marahku selama setahun ini.

Setahun yang sangat berat bahkan untuk tersenyum ditutup dengan email singkat pagi tadi dari Kala, lelaki yang telah membuat dingin terasa panas, kering terasa basah, imaji terasa nyata, malam terasa siang, benalu terasa raja. Duniaku berputar terbalik. Tanpa kabar, tanpa pamit ataupun bekas, Kala pergi meninggalkanku. Aku marah membaca emailnya, kurasa itu sangat kurang pantas untuk menutup penantian ~tigaratusempatpuluhlima~ hariku.

Dua belas menit berlalu, aku mulai mengotak-atik ponsel, membuka email Kala entah untuk keberapa kalinya. Sebagian hatiku memang ingin memastikan bahwa email itu memang ada, bukan khayalan atau fatamorgana otakku. Namun sebagian besar yang lain karena aku rindu. Hanya melihat email yang dikirim Kala saja rasanya bagai oase, iya aku sangat rindu.

Rindu gigi putihnya saat ia tersenyum lebar. Rindu semangatnya yang meledak-ledak, rindu tangannya yang selalu bergetar menekan shutter canon-nya saat ide keluar deras. Tangan yang tak siap mengimbangi otak. Rindu Kala sang pemikir sederhana yang selalu bilang : masa kamu nulis nunggu inspirasi datang? Nulis itu di tangan sama di jiwa, bukan di inspirasi. Sama kayak motret, penting memang merhatiin diafragma dengan bukaan berapa, membandingkan kondisi cahaya dengan ISO yang dipakai, mencari angle. Tapi ada yang lebih penting dari itu, hati. Motret pake hati beda dengan motret pake teknik tingkat tinggi. Fotonya lebih jujur.
Airmataku menggantung mengingatnya.
Kala memang seperti itu, sederhana dan indah.

Lima puluh tujuh menit berlalu, perasaan tidak enak menghampiriku, saat sesosok wanita cantik dengan bulu mata palsu memasuki pintu dan melihat ke arahku. Aku menatap bingung. Dia lalu tersenyum. Aku mengernyitkan dahi. Dia semakin dekat menghampiriku, datang sambil merangkul pria gagah disampingnya, seakan tak ingin terbagi…

“Hai Cahaya…”
Aku tercekat…
Suara palsu dan sosok ini sangat kukenal. Sangat. walau berubah menjadi apapun. Aku tidak akan pernah melupakannya. Bertahun-tahun kami bersama hingga kurindu nafasnya.
Lelaki disampingnya tersenyum ramah, ramah yang menjijikkan.
Lalu siapa ini?
Wanita cantik berambut panjang ber-make-up tebal, aku tidak kenal namun merasa dekat, aku tidak mendekap namun terasa hangat.

“Siapa kamu?” tanyaku ragu.
“Kala”
Jawaban singkat, malah terlalu singkat untuk meruntuhkan duniaku.
“Kala? Kala siapa? Kala pacarku?”
Tolong jangan katakan ini benar. Tolong hentikan detik ini. Aku tidak mau ada disini jika ini benar. Tolong bunuh aku. Tolong Kala….

“Iya Cahaya. Dulu… sekarang hanya teman.”
“Anggun suaramu dibuat-buat. Wajahmu bohong. Bagaimana aku bisa percaya? Kala sangat jujur. Kala tidak pernah menyembunyikan apapun dariku.”
“Aku bohong Cahaya, aku selalu berbohong. Kebohonganlah yang membuatku pergi.”

Aku semakin tercekat, tiba-tiba Kala memberiku tisu. Oh, aku menangis rupanya? Apa yang kutangiskan? Aku tidak tahu dan tidak sadar. Aku hanya benar-benar ingin membunuhmu dan pacar lelakimu ini sekarang.

“Ada banyak sekali hal yang ingin kutanyakan padamu Kala.” Gigiku beradu geram.
Aku mencoba mengingat 1825 pertanyaan yang sudah terkumpul rapi. Tapi tidak bisa. Hanya satu yang tersisa : kenapa kau meninggalkanku?

Tapi apa lacur, pertanyaan itu telah terjawab sesaat setelah kulihat dirimu Kala, menggenggam erat tangan pacarmu. Kau terlihat sangat utuh, sementara aku terlihat sangat hampa.

“Cahaya… aku mencintainya.” Tiba-tiba Kala berkata. Berusaha menangkis semua tuduhan yang dilontarkan mataku. Aku berubah dingin, kututup mata, kutundukkan kepala. Mendengarnya saja aku sudah jijik, apalagi melihat wajahnya yang palsu.

“Cinta memang buta Kala, tidak punya mata. Tapi kita punya kan?” sahutku dalam kelam.
Kala terdiam, tiada jawab terlontar, tiada bela yang terucap. Hanya diam dalam taut kebohongan yang ada.

Ini semua benar-benar diluar kendaliku. Tipisnya pemisahan beda yang dilakoni Kala sekarang tak bisa kubaca. Aku sama sekali tak tahu bedanya, apakah berubah menjadi seorang wanita bagi Kala adalah sebuah kejujuran pada diri sendiri atau kebohongan yang sejati. Mungkin baginya, dia jujur, ingin menjadi seperti sekarang. Demi cinta, demi hasrat.

Aku sudah tidak kuat, aku hanya terduduk lesu di sofa ini. Lelaki yang sangat kucintai seluruh jiwa pergi meninggalkanku dengan lelakinya.
Pergilah Kala, pergi yang jauh, bawa mimpi dan hasratmu yang tak mau kumengerti itu. Ambil setengah jiwaku pergi sekarang. Kau telah mengambil sebagiannya setahun yang lalu. Sekarang biarkan aku merasa lengkap. Lengkap ditinggal olehmu. Tak ada cinta tersisa, tak ada janji yang masih tertunda. Aku telah siap menghapusmu.

Sore itu Kala meninggalkan selembar foto. Aku membukanya hati-hati, aku tidak ingin kejutan lagi. Cukup sudah.
Ternyata foto segerombolan kunang-kunang dengan luminescence, bertarung digelapnya malam, banyak dan cantik.
Tertera tulisan tangan dibaliknya.

Judul : Kala Cahaya Menghampiri. Karya : Kala. Bit Depth : 24, Camera Model : Canon EOS 40D, Shutter Speed : 1/60 sec. F-Number : F/5.6 , ISO Speed : ISO-200, Date Picture Taken : 12/08/1998 23:13 PM

Untuk Cahaya :
Aku tidak ingin dimengerti, hanya ingin diterima.
Aku ingin seperti foto dengan data exif, semua orang bisa melihat jati diriku dan bagaimana aku bisa ada.

Sunday, November 28, 2010

Warung Kopi

Riuh redam suara sore ini menggigit kupingku...

warung kopi ini lengkap, menyuguhkan semua kerusuhan yang melunturkan ribut hatiku...

menari didepan mejaku kesunyian dihantarkan melalui bapak tua perokok sendirian

kerut pipinya melukiskan kehampaan amat dalam

dikananku pemuda-pemuda metropolis,

yang lebih meributkan soal otomotif hura-hura dibandingkan cinta...

keempatnya menghisap rokok

duduk disampingku langit,

yang selama ini menjadikanku tanah yang dinaungi dan dilindunginya

berpangku dagu dengan tangan kiri mencari kesenangan hidup dari hasrat booking online konser musik idamannya

tangan kanan memegang rokok, dan perlahan menghisapnya dalam-dalam

langitku sedang diam, dalam balutan kerusuhan dan riuh rendah sore di warung kopi ini

bercinta dengan rokok dan konser musiknya

aku ingin ada disitu. disitu... di dalam hisapan rokokmu...

hisaplah aku... masuk ke dalam ronggamu dan memompa jantungmu

mengalirkan darah ke seluruh sel tubuhmu

dalam sore ini... di warung kopi rusuh ini...

hisaplah aku langit biruku...

Friday, October 29, 2010

Arti "Maaf"

kita bersalah, maka kita meminta maaf.
kita mengecewakan, lalu kita menawarkan maaf.
kita berdusta, lekaslah berkata maaf.

namun tidak semua maaf bisa merubah racun menjadi tawar...

sebuah kecewa seperti paku pada tembok. kau meminta maaf dan mencabut pakunya.
tapi lubangnya tidak akan tertutup. dia akan abadi disana...

aku memaafkanmu sebelum kau minta. kucabut paku itu dengan tanganku sendiri. kusamarkan lubangnya dengan keikhlasan, agar senyum tetap ada. agar kita terus berjalan berdampingan.

karena terus terang. bagiku. maaf tidak terlalu penting, tapi kuat.
cukup kuat untuk menahan langkahku ketika suatu hari nanti aku berniat berlari darimu.
kuat untuk mengangkatku saat aku merasa jatuh karenamu.
cukup kuat untuk menarik dua sisi bibirku tersenyum saat aku menangis karenamu.

kau katakan maaf saja, lalu aku tidak akan berfikir yang lain selain kembali padamu dan memelukmu.

maaf tidak menutup lubang. tapi mencairkan yang beku. seperti hatiku.

cukup matamu katakan maaf. kutangkap. kucerna. kututup sendiri lubang kecewa itu. sudah. kau tidak perlu susah.

jikapun tidak. cintaku sudah cukup besar. sebuah perkara maaf saja tidak akan menguranginya.

Sunday, October 24, 2010

Menyimpan Rahasia

Angin yang dingin, telah membekukan hatiku sejak semalam. aku menyimpan sesuatu didalam sana. dikunci oleh tingginya hasrat.

aku melihat kita. dan berfikir. dengan sangat egois. aku ingin kau menggenggam tanganku erat tanpa jeda. tidak ingin terlepas saat ada yang melihat kita. aku sangat tercinta-cinta. dan ingin semua orang tau keadaannya. tidak peduli bagaimanapun caranya. aku ingin bercinta denganmu seperti orang normal lainnya. aku letih mengendap-endap seperti pencuri.

lalu aku melihatmu, kau begitu ringan. tak pernah berontak atau merasa keberatan. kau melihat mataku dalam. mendekapku erat. menghancurkan bekuan-bekuan hasrat di hatiku. aku malu. aku terlalu nafsu. naif.

kaki dan hatimu yang sejalan untuk menginjak bumi membuat hasrat dan sayap lemahku malu saat ingin terbang sangat tinggi.

aku sangat ambisius sementara kau sangat realistis.

malam ini kau tidak berkata apa-apa. aku juga. mataku menerobos masuk ke matamu. kutatap kau tanpa ampun. bintang-bintang tak bersinar malam ini. mungkin karena sinar matamu lebih indah dari pancaran mereka. dengan begini aku mengerti sebelum kau beri pengertian. aku sabar sebelum kau katakan harus sabar. gelisah itu padam sendiri sebelum diutarakan. airmata membeku sendiri sebelum dikeluarkan.

matamu membuatku mengerti. tanpa perlu banyak orang tau. kita cukup bahagia dengan menjamah cinta dan membaginya untuk kita saja. kau bernafas disampingku. aku bernafas disampingmu. sudah. aku bahagia.

kau beri pelajaran berharga tanpa berkata. cinta bukan tentang siapa-siapa. cinta tentang kita. pun bukan untuk siapa-siapa. tapi hanya untuk kita.

dan akhirnya mataku tertidur dengan senyum malam ini. tidak ada lagi hasrat terlalu tinggi, nafsu, dan ambisi.

walau tak ada cinta yang sempurna. bagiku, cinta kita begitu indah begini adanya...

Wednesday, September 22, 2010

Bersyukur Untuk Mereka...

Aku pernah merasa sangat jatuh dan itu adalah saat aku jauh darimu Yah…
Dulu setiap malam menyapa, aku sangat tidak suka tidur diantara ruang ketakutan yang tak bisa kutembus dengan selimut baja sekalipun…
Dan itu saat aku berada jauh darimu Bu…


Aku mencintai hidungmu, matamu, gurat pipi kerutmu, legam hitam kulitmu karena perjuangan, dan nafasmu Yah…
Aku mencintai caramu mencintaku…


Aku mencintai senyummu, sabarmu, kerut kantung matamu, bahu lelahmu, kulit perut yang tidak kencang karena mengandungku, dan nafasmu Bu…
Aku mencintai caramu memanjakanku…


Aku pernah bertanya - Ibu… untuk apa kau mengurusku hingga sebesar ini? Adakah untungmu? Sedang aku selalu dan selalu membuatmu merugi…
Lalu kau jawab, untuk waktu yang tak pernah mengenal kata ingkar, untuk momen yang nanti akan berbalik padaku. Saat engkau Nak, yang akan mengurusku di hari tua yang pasti datang.
Padahal aku Bu, belum tentu memiliki kesanggupan sempurna untuk itu. Mengurusmu sesempurna kau mengurusku…


Dan aku pun pernah bertanya, Ayah untuk apa kau bekerja siang malam mencari penghidupan untukku? Adakah untungmu? Sedang aku selalu dan selalu membuatmu marah dan cemas…
Lagi-lagi untuk waktu yang tak pernah berdusta menghampiri…
Untuk Kau menghidupiku nanti Nak, saat aku tak bisa lagi memberi apa-apa untukmu, dan untuk sebuah balasan, semoga Kau melakukan hal yang sama untuk cucu-cucuku…


Jadi demi semua nafas yang telah dikorbankan untukku, semua keringat yang telah dikucurkan hanya untuk merangkai senyumku dari kecil hingga sekarang, aku tak pernah berniat untuk berhenti meminta kepada Tuhan Maha Pemilik Kebahagiaan.
Tolong bahagiankanlah mereka sebahagia yang aku telah rasakan selama ini.
Tolong jagalah mereka, sesempurna mereka menjagaku hingga saat ini.

Sesungguhnya jika aku pernah berbuat salah, hanya karena ketidaktahuanku tentang bagaimana cara menyayangi mereka dengan benar.
Karena sesungguh-sungguhnya aku mencintai mereka dengan seluruh nafas dan jiwaku…

ayah, ayah, ayah...

Ayahku seorang yang pendiam, aku terbiasa menceritakan semuanya ke ibuku… Mungkin seorang ibu memang diciptakan lebih hangat daripada seorang ayah.


Namun ayah akan menjadi orang yang sangat aktif bicara ketika dia sedang membicarakan satu tempat : Baitullah Al-Haram, Mekkah.
Aku tidak pernah tahu persis, apa yang dialaminya disana, hanya satu hal yang aku tahu, kota suci itu telah mengubah hidupnya.


Ayah selalu cerita menggebu-gebu: Saat subuh pertama, dua telapak kaki menginjak Masjidil Haram pertama kali –kami tidak pernah melihat ayah menangis, bahkan saat ibunya meninggal– namun mama bilang : saat itu untuk pertama kalinya, didepan Masjidil Haram ayah menangis, sambil matanya menatapi tanpa sela detil mesjid itu, tujuh menara yang mengelilinginya, bebatuan marmer putih yang melapisnya, dan seolah menelan adzannya…


Satu pagi ayah cerita padaku, “Dalam telingaku terngiang seruan Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah untuk memanggil umatNya berhaji di Baitullah setelah selesai membangun ka’bah, dalam hati ayah menjawab –ya… ya… ya… aku penuhi panggilanmu–“

Dan jantungku terasa ngilu mendengarnya…


Aku bertanya penasaran : Memangnya gimana suasana kota suci itu Yah?

Ayah tersenyum “Disana semua orang menanggalkan segalanya, harta, jabatan, status sosial. Kadang ayah sampai lupa, ini Mekkah atau surga?”
Ayah berhenti sejenak, terlihat berfikir dan mengingat-ingat.

“Ribuan orang itu semua beribadah seakan-akan dunia tidak penting lagi untuk mereka. Dan memang iya, dunia sebenarnya tidak terlalu penting. Allah sudah sangat menekankan kalau akhiratlah yang kekal. Dunia hanya jembatan untuk mencapainya. Kehidupan di surga dan neraka itulah yang lebih kekal. Jadi disana, semua orang berlomba-lomba untuk mencapai kekekalan surga. Rasanya rugi kalau ada waktu yang terbuang selain untuk ibadah selama disana.”


Lalu cerita ayah sampai pada hal yang akhirnya membulatkan keputusanku untuk kesana…
~ dan tempat ayah menangis untuk kedua kalinya, Rukun Yamani– ayah berhenti.
~ Rukun Yamani??
~ Sudut yang paling penting pada ka’bah. Sudut paling istimewa. Dalam satu riwayat, Nabi pernah bersabda bahwa setiap beliau melewati sudut ini tampak ada malaikat yang mengucapkan Amiin…. Sebagai jawaban dari doanya. Jadi sudut ini tempat yang baik sekali untuk berdoa.
~ Doa apa yang sangat ayah inginkan terkabul itu sampai menangis?
~ Ada dua, yang satu kayaknya udah terkabul, yang satu lagi Insya Allah.
Pertama, ayah ingin waktu itu kamu secepatnya segera pulang, tinggal dirumah lagi. Ayah capek ngelihat kamu dan ibumu nangis-nangisan ditelpon kalau kamu gak bisa pulang. Dan sekarang terkabul kan?
~ Yang kedua ?
~ Ayah ingin nanti kita semua ketemu disurga –yang lebih kekal.


Dan senyum ayah mengembang…

Thursday, July 15, 2010

"The Answer"

Malam ini hujan sangat deras mengguyur aspal. Tubuhku kelelahan luar biasa, walau malam ini aku pulang tidak terlalu larut.
**********************************

Rumah itu tidak berubah, masih sama seperti dulu. Selalu menebarkan aroma-aroma kerinduan bagi yang meninggalkannya.
Aku tersenyum, berdiri di halamannya…
Aku tersenyum, dan tak bisa berhenti tersenyum.
Sesaat setelah membuka pintu, kehangatan memelukku erat. Mataku buru-buru disergap oleh memori dari setiap sudut yang terpancar.
Kubuka pintu kamarku, kuciumi dalam-dalam udaranya. Aku bergumam dalam hati…
Iya, tempatku memang disini…
*********************************

Aku meraih surat yang dari tadi kuacuhkan itu. Menyingkirkan replika mawar putih kristal yang menahannya dari angin yang masuk dari jendelaku.
Kutarik simpul demi simpul pita yang mengikat amplopnya.
Dan ternyata, tidak akan pernah lagi kubaca surat yang lebih indah dari ini mungkin sampai aku mati.
*********************************

Untukmu, Ning…

Lalu heningpun turun disaat kedua mata masih sayu sembab
Kau merayu-rayu menari dengan cinta didepanku
Menawarkan segala keluh kesah dunia ini…
Terus terang aku tidak mau mengeluh.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada angin yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Jadi tolong tulikan telinga dan butakan mataku atas apa saja yang bisa membuat semua ini pudar…

Ning, ketika kau tersenyum dan mendekap pundakku dengan kedua tanganmu, aku terhenyak seketika…
Kau melindungiku dan duniaku dan jiwaku dan hatiku.
Sambil terus mendendangkan lagu yang kumau, lagu hatimu…
Kau selalu begitu, selalu senang bergelut dengan prinsipmu sendiri.
Selalu menempa hatimu teramat keras…
Sudahlah Ning, aku ingin kau yang sebenar-benarnya,
And one thing I want you to know
When my mouth seems too frozen to speak out
When I feel my breath going suffocate
And my heart just too torn to dance on your skin
And before everything sounds so weird
I just want you to know that, I’m so in love with you Ning…
You are without a doubt the best thing that ever happened to me…
And absolutely, I wanna be your another half…

***********************************

Mataku terasa hangat…
Sekarang aku paham, airmata tidak selalu mewakili kesedihan.
Lalu aku membuka kotak berwarna biru laut di atas meja riasku. Sebuah gaun hitam anggun dengan belt glitter di bagian pinggangnya.
Dan secarik kertas.

Aku tunggu dibawah Ning…
__ Your Half

Jantungku makin berdegup kencang ketika kubuka jendela dan kutemukan lelakiku itu berdiri tersenyum disamping mobilnya dengan setelan jas lengkap. Dia sangat tampan seperti biasanya.
*************************************

Aku melemparkan pandangan keluar jendela. Menghirup wangi tanah setelah hujan yang selalu menjadi favoritku sejak kecil. Ditemani suara katak jantan menggoda katak betina setelah hujan reda… dan menikmati Banana Split yang menjadi dessert kami.
Malam ini, aku bahagia…
Memang terdengar sederhana.
Tapi bagiku, ini cukup untuk melengkapi hidupku untuk selamanya…

***

Sunday, July 11, 2010

Melukismu...

Dan keadaan itu…
Membuat aku ingin beringsut tumpah ke dalam lingkar bahunya.
Karena angin pada saat itu membawa butiran-butiran wangi tubuhnya padaku
Saat aku mendekat melihat wajahnya lekat-lekat, hingga panas tubuhnya pun terasa.
Aku puas…

Ada sesuatu yang selama ini aku takutkan
Dan semuanya menjadi terasa aman saat mataku menikmati setiap senti wajahnya, lehernya… sambil mendengar ceritanya.
Pepohonan pisang yang dibalut kain kotak-kotak bergoyang, dilewati angin semilir yang akhirnya menembus kami.
Menggetarkan api lilin kecil yang ada diatas meja ini.

Aku ingin lebih lama lagi duduk berdua denganmu disini sampai pagi…
Mengalahkan lorong-lorong waktu yang terus berputar disekeliling kita, dan kita tetap seperti ini, duduk, berdua, dan tertawa…

Kau sangat indah fu…
Kau inspirasi terbesarku saat ini…
Melihat kau tertawa, aku ingin menggoreskan tinta di langit
Melihat kau diam, aku ingin mengibas air laut dan menulis di dasarnya.
Melihat kau tersenyum, aku ingin menurunkan hujan dan mengukir tulisan di aspal yang basah…

Kau katakan, -someone special who make my life more brighter-
Sadarkah kau fu, kaulah sebenarnya cahaya yang membuat cerah itu…

Kau sangat cerah tanpa membuatku merasa silau.
Kau membuatku merasa keutuhanku tercermin.
Kau membuatku merasa semuanya pas…

Aku benar-benar ingin membawamu ke duniaku fu…
Dunia dimana ketulusan cinta dijunjung tinggi tanpa syarat
Dunia dimana logika dan fikiran disingkirkan
Yang digunakan hanya satu, hati…

Dunia dimana kau bisa sangat bahagia, sebahagia-bahagianya seorang manusia.

Aku janji fu…

Berhenti Berjuang...

Aku menemukan ibuku duduk dimeja makan sendirian
Dengan penuh kekalutan aku berdiri mematung melihatnya menyeruput teh dari ujung gelasnya sambil membaca majalah.
Lalu aku duduk tanpa suara disamping kursinya, diam…

Mama mengintip dari balik majalahnya…
Pandangannya bertanya heran.

“aku mau cerita ma…” jawabku setelah paham pertanyaan dari mata mama.

Mama seketika meletakkan majalahnya,
Memasang tatapan hangat yang menyajikan – ada apa? Iya mama dengerin –

Aku menundukkan kepala, mencoba membenamkan air muka kekalutan.
“kapan kita harus berhenti berjuang dan mulai menerima ma? Gimana kita bisa tahu waktunya?”

Mama menghela nafas panjang… Seolah puas.
Akhirnya setelah memendam cerita dan pertanyaan cukup lama, anaknya cerita juga.

Hening sejenak… hanya kicauan burung pipit yang bertengger di ruang makan yang terdengar.

“kita tidak pernah bisa tahu kak – manusia nggak akan pernah bisa tahu kapan dia harus berhenti berjuang dan mulai menerima – yang bisa kita lakukan hanya memutuskan untuk berhenti berjuang dan mulai mencoba menerima”

Aku tercekat. Mataku tertuju tajam tak berdaya menatap mama.
Seperti ditembaki peluru yang sangat sakit mendengar kata-katanya, tapi hatiku mengiyakan.
Mama tau aku berat menerima apa yang dikatakannya.
Mama mendekatkan wajahnya ke wajahku, meneliti apa yang ada difikiranku dan menjawabnya…

“kak, kalau dicari-cari kita tidak akan pernah tahu, kalau ditunggu-tunggu dia tidak akan pernah datang, sampai kapanpun. Yang memutuskan laju hidupmu adalah dirimu sendiri. Jadi kamu harus bisa memutuskan kak, kapan kamu mau berhenti berjuang dan mulai ikhlas menerima, atau kamu akan terus berjuang sampai waktu yang bahkan gak bisa kamu baca sampai kapan.”

Kini giliranku yang menghela nafas panjang
“aku takut ma – takut salah langkah.”

“kalau kamu takut kak, berarti kamu udah kalah. Bahkan jauh sebelum perang dimulai.” Mama berhenti, membiarkanku berfikir.

Iya, aku berfikir, memandangi uap panas yang melayang dari gelas teh mama.
Tanpa satu katapun keluar dari mulutku.

Sore itu, maghrib menjelang terasa sangat lama…
Membiarkanku dan mama menghabiskan waktu menunggu dengan pembicaraan yang sangat menekan ini.

“kak, sekarang kamu udah dewasa. Dewasa berarti bertanggung jawab atas semua keputusan yang diambil. Putuskanlah secepatnya kak. Dunia gak mau menunggu manusia-manusia berfikir, dia akan terus melanjutkan putarannya. Tanpa peduli manusianya mau ikut lanjut dengan dia atau tidak. Serahkan sama Allah kak. Jangan takut salah langkah, gak ada satupun kejadian didunia ini yang luput dari pengawasanNya. Semua melalui izinNya. Jadi ikuti aja alurnya…”

Aku tersenyum lirih. Mencoba membuka fikiranku sendiri.
Membiarkan kata-kata mama masuk ke otakku untuk dicerna dan dipahami.
Mamaku memang hebat.
Ketika aku menjadi perempuan yang kuat ma, kaulah sebenarnya dasar kekuatan itu.

Aku menarik nafas untuk kesekian kalinya, kali ini lebih ringan dan lega.

“oke… aku berhenti berjuang ma, bukan untuk menyerah.”
Nafasku tertahan…
“untuk melanjutkan hidup…”

Lalu senyum mama mengembang…

Thursday, June 24, 2010

Setengah

Dan senjapun menjemput malam
Saat kucoba melukis warna-warni rupamu pada desau angin
Disatu-satu malam, kadang aku melengkung hening
Dari berdiri hingga terbaring, berfikir…
Dan mencoba menebak apa yang akan kau suguhkan berikutnya.

Aku tetap membaca warna-warnimu
Seiring dengan derasnya kau tegukkan aku tawa
Membuatku benar-benar menginjak bumi
Aku merasa hidup…

Kau satu-satunya yang paham
Saat aku ingin berhenti, kau pun berhenti…
Kita tidak pernah bertengkar tentang kenapa aku ingin berhenti dan kenapa kau juga ikut berhenti.
Kau bilang, ini yang disebut mengerti…

Lalu aku mematutkan diri pada benang-benang fikiran yang kau ulur.
Mencoba mengerti apa yang kau sebut itu.
Hidup sesungguhnya bukan tentang siapa yang harus kita mengerti
Tetapi bagaimana cara kita mengerti seseorang, itu saja.

Aku terpana…

Hatiku sempat berhenti menari, terpaku dalam hening nan sunyi.
Saat kau lalu hadir dan membuatku merasa hidup lagi
Iya, aku melanjutkan nafasku yang sempat tersendat.
Tapi setengah yang kosong itu belum benar-benar terisi

Dan karena aku ingin bisa kuat berlari lagi
Karena aku tidak ingin menikmati dunia ini sendiri
Karena aku membutuhkan keutuhanku
Would you be my another half….?

Sunday, June 20, 2010

Mati Rasa...

Kau sebut sebenarnya semua sama.
sama seperti dulu sebelum kita sadar bahwa kau dan aku bertingkah seperti orang yang tidak pernah kenal dan bercinta.

Terus terang aku muak dengan bentengmu.
Kau terlalu hati-hati.
Padahal aku tau dengan pasti luapan rasamu terlalu besar dari bentengmu sendiri, kau berupa dua.

Cobalah belajar jujur dengan hatimu sayang..

Kau berkata ini itu demi sesuatu yang tidak bisa aku pahami.
Bukannya kita sama?
Sama-sama ambisius..

jadi aku memutuskan untuk pergi
dan entah kenapa kau juga melepasku dengan sangat ikhlas..

Dalam palung resah paling dalam, aku diam.
Dan semua orang menganggapku gila karena diamku.

Iya, aku gila...
Kubiarkan kalian menari-nari menyakitiku sampai puas.
Melemparku ke langit, mencampakkanku ke ujung dunia, lalu menghempaskanku lagi ke bumi.
Terserah saja...
Aku akan tetap diam, tanpa tangis kesakitan...

Aku mati rasa...
Saat kau pergi meninggalkan sedih bahagia dan semua yang telah kita ciptakan.
Saat kau tak lagi berdiri disampingku. Jujur, tak ada lagi perasaan yang bisa kurasa..

Aku sadar, seluruh pertanyaan yang tiba-tiba muncul di otakku menemukan muaranya sendiri..
Semuanya kembali padamu.

Tanpa kekuatanmu,aku hanya selembar kertas usang yang rapuh, yang bisa hancur hanya dengan sekali remas.

Aku merasa ini, dalam kondisi di titik ini, semua yang kuraih dan kudapat, pujian, harapan, dan kedudukanku, adalah butir dari kerja kerasmu yang tak pernah berhenti karena lelah menempa semangat dan memacu kakiku untuk terus berlari dan menjadi perempuan kuat yang mandiri.

Kau tau aku, paham benar, dengan sifat keakuanku yang ingin selalu menang.
Kau ikuti aku terbang, mencapai hal-hal tinggi yang selalu aku impikan.

Orang-orang memandang aku..
Padahal semua itu karenamu..
Saat bersamamu, semuanya sederhana dan indah..

Namun ketika semuanya lepas dari genggamanku..
Aku terpukul, terhantam keras..
Sendiri menyudut hening..
Aku bahkan tak berekspresi apa-apa..
Tak mau berkata apa-apa..
Hanya untuk sebuah pembuktian.
Ketika kekuatan yang selalu setia bersamaku selama bertahun-tahun hilang, apa aku masih tetap sama?
Tetap bisa terbang dan berlari kencang
mengejar setiap detik untuk hidupku, tanpamu...

Dan kenapa, disaat aku berhasil kuat, tidak mengeluh bahkan meneteskan airmata...
Aku dianggap gila?

Padahal aku hanya mencoba untuk berjuang sendiri.
Menjadi perempuan kuat yang sebenarnya...
Berjuang dalam diam dan heningku sendiri...

Namun sayang, tak ada seorangpun yang bisa melihatnya...

Catatan Resah Tengah Malam Gara-Gara Kopi Part 2

Begini...
Aku tidak terlalu dekat dengan kakekku dulu.
Biasa.. Anak perempuan pasti lebih dekat dengan neneknya, dia memang mantan pelaut yang kaku...

Dan akhirnya tulisan ini hanya sampai part 2. Karna aku tidak ingin ada yang pergi dari kehidupanku lagi.

Mantan pelaut itu pergi, kakekku tidak ada lagi. Disaat beberapa tahun belakangan ini aku sangat dekat dengannya.

Aku selalu bertanya, semenjak nenek pergi. Apa aku pantas menginginkannya ikut pergi juga atau tidak?
Karena memang semua tak kuasa melawan kenyataan bahwa dialah yang paling terpukul karena kesepian sejak nenek tiada.

Kesepian menggerogoti tubuhnya yang dulu kekar. Perempuan terbaiknya pergi, setelah setia berpuluh tahun mendampingi.

Penyakit yang mengalahkan kakek bukan apa-apa, smua sakit itu datang dari hati dan kesedihannya sendiri.

Maka, kami fikir, dia mungkin akan lebih tenang menemani nenek, daripada terus menemani kami disini, menyambut kedatangan anak dan cucu setiap weekend, selebihnya.. dia sendiri.

Gelombang waktu yang singkat menyuguhkan padanya satu asa, yang tidak pernah bisa dimengerti olehku, bahkan oleh mama -anaknya sendiri.

Satu minggu sebelum kakek pergi, mama pernah bilang, kita sudah sampai di satu titik dimana kita sudah harus ikhlas, bahkan saat dia masih bernafas, kita harus bisa memulai doa baru. Berdoa agar Allah bisa mengambil nyawanya dengan cepat dan mudah. Karena kita smua tidak ingin melihat dia tersiksa dengan penyakit itu terlalu lama.

Awalnya berat memulai doa -yang aku fikir aneh- seperti itu. Namun akhirnya aku sadar. Cepat atau lambat, besok atau lusa, tahun ini atau beberapa tahun lagi, aku, kita, kakek, mama, ayah, dan semuanya yang bernafas akhirnya akan masuk ke ruang tanah sempit 2x1 meter itu, gelap dan sendiri. Hanya ditemani satu hal, iman.

Dan pada hari jumat kelam namun indah karena keikhlasan itu, kedatanganku benar-benar tidak ditunggu. Aku sadar.. Aku tidak terlalu tinggi untuk ditunggu oleh jasadnya. Jarak dan waktu tidak bisa kutembus begitu saja.

Dan memang setiap kematian memberikan kita pembelajaran. Aku belajar tentang keikhlasan saat itu. Aku benar-benar dipaksa untuk ikhlas. Ikhlas untuk tidak bisa menciumnya di saat-saat terakhir, ikhlas untuk tidak bisa berbaring dan memeluknya terakhir kali, ikhlas untuk hanya berdoa dari jauh saat detik dia dimakamkan, dan ikhlas untuk puas hanya dengan berdoa dipusaranya saja.

Semuanya berjalan sangat cepat. Namun kematian kakek adalah kematian terindah yang pernah kami alami.

Karena dia pergi dengan indah..
Karena dia pergi dengan senyum..
Karena dia pergi dengan mudah dan nyaman..
Maka kesedihan itu hilang
dan kami semua ikhlas..

Dan semuanya, semuanya sangat indah..
Dan semuanya merupakan pertanda..

Selama seminggu perasaan sangat takut kehilangan dia menghinggapiku. Dan aku memang benar-benar sangat takut.
Aku takut tidak bisa mengelus-ngelus kakinya lagi saat dia sakit, itu salah satu favoritnya. Bayang-bayangku saat buru-buru nyetir dan panik membawa dia kerumah sakit terus berputar di otakku. Aku bingung, kenapa?

Saat itu aku ingin balik kerumahnya, seharian menghabiskan waktu dengan dia. Dengerin dia cerita masa penjajahan belanda -cerita kesukaannya. Namun, tidak bisa.. Jarak yang terlalu jauh menghalangiku.

Hari-hari itu aku mencoba meyakinkan diri bahwa kakek akan sembuh, and he will be fine.

Namun, diujung waktu yang lain.. Kakekku sendiri sangat tahu, ketika cahaya itu telah mendekat dan nenek sudah membuka lebar tangannya.

Jadi sekarang aku mulai bisa menyikapi segala hal dengan dewasa. Dewasa untuk bisa mengerti bahwa saat hujan turun sangat deras dan manusia mulai berfikir tentang betapa sialnya dia hari itu karena hujan, aku harus bisa berfikir betapa senangnya manusia lain di belahan dunia sana karena hujan turun. Allah memberikan segala hal untuk makhluknya belajar.

Saat kabut duka menyelimuti keluarga kami karena meninggalnya kakek dan semua orang mulai berfikir tentang betapa sedihnya kami hari itu karena kehilangan, aku harus bisa berfikir betapa senangnya kakek akan bertemu nenek dan betapa tenangnya dia disana..


Specially for : alm.Kamaliun simatupang & almh.Salbiah purba, alm.Arab dzaelani & almh.Saerah

¤ Jadikanlah makam mereka seindah taman-taman disurga ya Allah.. ¤

Thursday, January 14, 2010

Untuk 'nya'

Aku sangat mencintai nenekku sepenuh jiwa,jadi mungkin ini persembahan yang entah keberapa kalinya untuk dia.smoga getar sendi-sendi kerinduanku tetap dikirm angin melewati peraduannya di surga...

Seorang nenek lain mungkin dikirim tuhan utk menegurku karena setelah kuingat,lafaz dalam doaku slama ini hanya bergerak berputar tentang duniaku,hasratku dan ambisiku,tak ada kusebut nama nenekku..

But deeply in my heart, I miss u so much more than everything I want most in this world nek...coz life is all about that,sometimes make us feel comfort,but in other times,make us feel better die like u..

Jadi,sosok nenek pensiunan itu datang,duduk diantara bosku dan aku,cerita ngalor ngidul kemana-mana,tentang hidup,gurat-gurat zaman dulu sebelum dia pensiun,tentang cucunya,sampai pada saat dia mendatangi rumah Allah,Mekkah...

Dia bilang,dulu dia gak nyaman kerja disini,bank ini hampir bankrut,sempat saldo di rekening 65perak,tapi yg buat dia bertahan,saat suatu hari dia pernah duduk diruangan atasannya dan bilang:
pak,besok saya mau izin gak masuk,saya mau nikah 3hari lagi.tapi besok,saya menjadi muallaf pak.saya akan mengucap 2kalimat syahadat...

Tanpa ingin menyentuh hal-hal yg bersifat keagamaan,sorry to say no hard feeling.
aku tersentuh..dan fikiranku melayang ke raut wajah nenekku yg mengalami hal yg sama.

Tuhan tidak menegurku cukup sampai disitu.si nenek mulai menceritakan hasrat terbesarnya, memenuhi undangan Allah..

Bibirnya tiba-tiba bergetar dan airmatanya menggantung,dia bilang...

beberapa tahun stelah itu aku duduk lagi diruangan atasanku buat minta izin --pak,besok saya mau berangkat haji--
lalu dia langsung meluk aku sambil nangis,aku bingung kenapa dia yg nangis?
lantas dia bilang,saya diadzankan ayah saya dari lahir,saya islam dari lahir,tapi saya gak nyangka kamu yg pertama terpanggil diantara kita..

Lanjutnya,sejak itu,aku gak pernah meninggalkan kantor ini sampai pensiun..

Cerita nenek setua ini membuatku teringat,aku sempat sangat bersikeras nabung untuk nenekku agar dia bisa menginjakkan kakinya di tanah suci,menghirup wangi negara rasul,dan mencium megahnya ka'bah.
tapi akhirnya dia pergi sebelum tabunganku cukup...

Pernah waktu zaman sd,siang itu aku lari buru-buru dari rumahku ke rumah nenek yg gak terlalu jauh,meneguk dgn cepat susu yang stiap pagi slalu disiapkannya untukku lalu lari ke sekolah.

Nenek sempat setengah teriak bertanya "kok buru-buru? Mau kemana?"
"mau ikut lomba lariiiiii.." jawabku.
"loh kok tumben bukan badminton?"
"HADIAHNYA KECIL..!!" sambil lari buru-buru.
Lomba lari itu hadiah pertamanya 2juta,sedang badminton yg biasa kuikuti cuma 1juta.pikiran anak kecil yg gak tau apa-apa mengira kalau 2juta itu cukup utk ongkos naik haji zaman dulu.

Lalu sorenya aku pulang dengan lemas.
Keringat disana-sini,tali spatu diikat menyatu dan dijijing di bahu..
"kok lesu?"
"kalah." jawabku singkat.
"yah gak apa-apa kan?lagian gak pernah lari kok mau ikut lomba lari sih wa?" nenek melengos jalan ke dapur,aku mengikutinya sambil menarik dasternya.
Lalu aku menjawab dgn ringan "soalnya kan nek maksudnya kalo awa menang,hadiahnya buat nenek naik haji aja..."

nenekku tiba-tiba berhenti,terdiam sejenak,lalu menunduk ke arahku,membasuh keringatku dengan tangannya yg keriput sambil tesenyum berkata,
"wa,naik haji gak semurah itu sayang.."

seketika duniaku terasa mau runtuh.jadi..naik haji gak 2juta yah?dasarr...

Setelah itu yg mamaku tau,aku ini anak yg rajin menabung.stiap ditanya buat apa,pasti jawabannya beda-beda.aku gak mau smua org tau aku nabung buat nenek.maksudnya mau ngasih surprise..

Tapi yg kualami,tabungannya gak cukup-cukup,malah ongkosnya makin mahal tiap tahun..

Hingga akhirnya bertahun-tahun setelah itu,saat suatu pagi ayah pulang kerumah menjemputku.disaat yg sama dan sangat cepat aku tau nenek udah pergi ninggalin aku dan tabungan hajiku.

Rasanya tak terkatakan,sepanjang jalan fikiranku kosong,sampai airmataku tak mau juga jatuh...
urat syarafku kelu seketika.
aku gak ngerasa sedih,marah,kesal..
cuma bisa terdiam dan berfikir,apa jadinya aku kalo nenek gak ada?

Hingga aku membacakan beberapa ayat Allah disamping sosok kakunya dan tidur semalaman menemaninya baru akhirnya airmataku tumpah juga..

Semalaman mataku tak rela kulepaskan dari wajah pucatnya hingga aku menyadari,hidungku ternyata dari hidungnya,mataku seperti di implant dari matanya,bibirku mengikuti senyum bibirnya.aku memang dari darahnya..

Bayangan hari berkabung itu terbayang lagi sekarang...
Nenekku seorang muallaf juga dan dia sangat ingin sekali berkunjung ke rumah Allah itu..
Aku hanya tau dia ingin,karena itu aku brusaha..
Walau inginnya itu tak pernah diucapkan dari bibirnya...

Sampai aku sadar ketika sosok nenek pensiunan tadi pagi itu mengutarakan ceritanya yg menggebu dan hasratnya yg besar ingin melihat lebih dekat apa yg akhirnya membuat dia berubah dan mengucap dua kalimat syahadat.

Dia merasakan kemegahan itu,tapi nenekku belum sempat..

Sekarang aku hanya bisa ber-oh ternyata- sendiri.
pasti nenekku merasa apa yg dirasakan nenek itu juga..
Dan aku hanya bisa meminta maaf atas keterlambatan itu lewat ini,yg juga gak mungkin lagi bisa dibaca nenek..

Aku cuma bisa begini nek,duduk sendiri dan menulis ini,jauh dari pusaramu..

Nanti aku pulang,pasti...

Ketika urusan tentang dunia ini selesai,aku akan duduk melepas rindu disitu.
I miss u so much...