Friday, December 17, 2010

Wish Without Clover


Aku sudah dewasa. Umurku sudah 23 tahun. Iya… sudah tumbuh menjadi wanita dewasa. Aku belajar sungguh-sungguh saat sekolah. Belajar, mengejar prestasi, dan coba-coba pacaran saat kuliah. Dan sekarang telah mandiri dengan bekerja. Aku merasa seperti itu.
Tapi jangan pernah tanya begini sama ayahku “Sarah sekarang udah besar yah pak?” Jawabannya akan selalu “Ah… Enggak. Masih manja.” Dan akan selalu seperti itu entah sampai kapan.
Ayah selalu setia dengan fikiran bahwa -You’re just my little girl- dan aku juga mencoba menyukai kata-kata itu setiap saat.
Suatu pagi aku pernah protes dari balik selimut, saat ayah melakukan rutinitas paginya : masuk ke kamarku, buka tirai, buka jendela kamar, matikan lampu, dan membiarkan aku terbangun karena cahaya matahari. “Ayah kok masuk-masuk kamarku terus sih? Aku kan udah gede.”
Ayah jawab dengan santai “Oh… jadi mentang-mentang kamu udah gede, ayah gak boleh masuk kamar kamu lagi?”
Membuatku benar-benar lebih baik tidur lagi ketimbang berdebat.
Aku diberikan kebebasan penuh sekarang. Tapi tidak seutuhnya. Ayah bilang kebebasan ada karena tanggung jawab. Orang yang sudah mampu bertanggung jawab, maka dia bisa diberi kebebasan dirumah ini. Jadi bebas, bukan bablas.

Aku sendiri baru diberikan kebebasan untuk apapun pada umur 20 tahun. Setelah membuktikan aku mampu bertanggung jawab pastinya.
Sebelumnya, ayah dan ibu cinta mati sama aku, sampai-sampai pulang pergi ke sekolah diantar jemput –kecuali SMA, namun tetap harus pulang tepat waktu. Sama sekali tidak boleh mengenal kata pacaran. Tidak ada istilah pulang malam. Malam hanya digunakan untuk belajar, termasuk malam minggu. Saat mulai beranjak dewasa, setiap aku pergi bareng teman-teman, ayah selalu menungguku pulang didepan rumah. Dia tidak akan tidur duluan. Dan banyak lagi aturan untuk anak perempuan yang sedang beranjak dewasa lainnya.
Tapi aku sama sekali tidak pernah sedih karena itu. I always enjoy and have fun. Dan karena masa-masa yang penuh keterbatasan itu, kebebasan yang sudah diberikan sekarang menjadi terasa lebih spesial.
Dulu ayah sama sekali nggak pernah mau dengar dan tau apa aku sedang jatuh cinta? Kepada siapa aku jatuh cinta? Kata ayah, aku masih kecil, dan anak kecil tidak boleh jatuh cinta.
Sekarang, ayah malah selalu mau tahu siapa laki-laki yang kucintai, dan mengkhawatirkanku jika aku berada dikamar saja saat malam minggu. Ayah pasti nanya “Lagi berantem?” dengan wajah serius. Lucu dan menggelikan rasanya.
Ini terjadi beberapa minggu yang lalu. Sesaat setelah pertanyaan lucu di malam minggu itu, aku dan ayah duduk berdua di teras. Sambil merokok ayah tanya “Kamu masih ingat cerita si pangeran buta dan empat daun semanggi?”
Aku terdiam sebentar. Mencari sisi memoriku dan Yap…! right there. Mana mungkin aku lupa. Ayah sudah mencekoki kepalaku sejak umur 3 tahun dengan cerita itu.
Jika aku tahu hari itu ayah pulang kerja sore, bukan malam. Aku selalu senang. Karena kami punya ritual spesial. Duduk diruang tv dengan meja kayu kecil bergambar tweety yang diatasnya terpampang buku besar tebal kumpulan dongeng anak-anak. Dan ayah, selalu dan selalu membacakan cerita “The Blind Prince and The Four-Leaf Clover”
Kira-kira begini…
Disebuah negeri antah berantah, hiduplah seorang pangeran buta kesepian yang tidak pernah diizinkan raja dan ratu keluar dari istana karena menjadi aib. Dia hanya memiliki teman seekor ikan mas kecil di kolam istana. Ikan mas ajaib ini selalu setia menjadi tempat berkeluh kesah, bercanda, dan bersedih.
Suatu hari ikan mas tidak ceria seperti biasanya. Ia tampak murung. Walau pangeran tidak bisa melihatnya. Namun dia dapat merasakannya.
Lantas pangeran bertanya “Wahai ikan mas ku yang cantik, kenapa suaramu terdengar murung? Apa kau sedang bersedih?”
Ikan mas menjauh, berenang ke sudut kolam, mencoba menyembunyikan aura sedihnya.
“Mengapa kau menjauh dariku?”
“Bagaimana kau bisa tahu aku menjauh?” tanya ikan mas.
“Apa kau lupa? Aku belajar merasakan arah angin. Walaupun aku buta, aku tahu apa yang terjadi disekitarku. Sini… mendekatlah. Katakan mengapa?”
Ikan mas kembali mendekat, bersiap menumpahkan semua kesedihan. “Sebenarnya aku adalah seorang putri. Kerajaanku dihancurkan. Hanya aku satu-satunya keturunan yang masih hidup. Namun, aku dikutuk penyihir jahat menjadi ikan. Aku ingin kembali menjadi putri, pangeran. Aku ingin menjadi manusia lagi.”
“Me-nga-pa?” tanya pangeran terbata karena terkejut.
“Karena aku mencintaimu.” Jawab ikan mas.
Pangeran merasa sangat sedih mengetahui kenyataan itu. Ternyata seekor ikan mas yang selama ini mengisi kesepiannya adalah seorang putri. Namun pangeran tertantang setelah ikan mas mengatakan syarat untuk dia dapat kembali menjadi manusia lagi. Jika ada seseorang yang mampu mendapatkan Clover berdaun empat. Maka ia dapat meminta apapun yang diinginkan.
Pangeran buta itu keluar dari istana megahnya. Mencari dan terus mencari. Memasuki hutan rimba, menerjang hujan dan panas, berkali-kali jatuh dan bangkit lagi. Namun setiap tangannya meraba, yang dirasakannya hanya Clover berdaun tiga.
Sampai suatu hari pencarian itu menemukan ujungnya. Cinta pangeran mencapai tujuannya. The Four-Leaf Clover pun ditemukan.
Dengan tertatih-tatih ia kembali ke istana, bermohon ikan mas nya dikembalikan menjadi putri. Dan pangeran pun dapat kembali melihat dunia. Bukan dengan hatinya, namun dengan kedua mata coklatnya.
Lalu kisahpun dikahiri seperti kata-kata dalam dongeng pada lazimnya : …and they’re live happily ever after…

Waktu aku kecil ayah selalu bilang. Semanggi berdaun empat memang nyata, bukan sekedar dongeng. Daun ini tumbuh di Irlandia dengan simbol kepercayaan :
One leaf is for love be mine.
The second for health.
The third for honor, glory.
The fourth for riches.

Tapi ayah selalu menekankan, ini bukan tentang Clover. Ini tentang perjuangan. Kau tidak bisa melihat pelangi tanpa kehujanan dulu.

Malam itu, di teras rumah. Ayah bilang, jangan takut jatuh, jika memang kamu sedang jatuh cinta.
Seiring berkali-kalinya dongeng ini ayah ceritakan. Semakin banyak contoh perjuangan yang dapat kuartikan. Tidak hanya tentang cinta. Tapi hidup itu sendiri.
Malam ini, aku tertegun melihat ayahku. Dia tetap menungguku saat pulang larut malam dari kantor, tertidur di sofa panjang didepan tv. Aku merasa menjadi anak kecil dalam kedewasaan. Ayah bukan sekedar belum tidur karena nonton tv. Aku salah. Ternyata ayah memang menungguku.
Kupikir rutinitas menungguku telah berhenti sama seperti rutinitas membacakan dongeng The Blind Prince and The Four-Leaf Clover.

Tanpa Four-Leaf Clover, aku memohon pada Tuhan. Aku tidak ingin kehilangan serangkaian rutinitas ini : masuk ke kamar dan menyuguhkan matahari lewat jendelaku pagi-pagi, menganggapku selalu ‘gadis kecil’nya, menungguku pulang kerumah hingga larut malam, memberiku kebebasan yang indah, mencintai ibu, aku dan adik-adikku, menunjukkan pada kami bagaimana perjuangan cinta yang sesungguhnya.
(Perjuanganku lewat doa)