Saturday, December 24, 2011

Garis Hati


Ada hening panjang yang kami suguhkan pada waktu berkali-kali
jeda yang ada hanya airmata yang tak pernah bohong mengartikan isi hati.

sesekali bibir bicara ini-itu,yang terkadang lebih sering salah menyampaikan isi hati
dan akhirnya,penyesalan pun datang untuk mengkristalkan sesuatu yang paling jujur itu, airmata...

kau memaksa dam merampas tubuhku kepelukmu, untuk apa?
aku sudah tau sebelum kau utarakan.
bukannya selama ini aku yang selalu menyambung kalimatmu sebelum kau selesaikan?
aku yang selalu menyimpulkan arti dari ekor matamu saat aneh melihat sesuatu.
aku yang selalu datang kepelukmu sedetik sebelum tanganmu memutuskan untuk mendekap...
aku yang selalu tahu kau sedang menyembunyikan kesalahan hanya karena kecupan berkali-kali dikeningku.
jadi aku sudah tahu sebelum aku menangis, aku akan dihadiahi kata maaf.

kau memacu nafas dengan deru jantung tinggi dalam gelap mata
dikuasai emosi yang engkau sendiri tak tahu ujungnya dan maksudnya

tanpa sadar luapanmu itu menutup rongga dada...
kata yang keluar berasal dari kerongkongan dan merah mata
bukan dari hati...

setiap aku mengingat nada-nada tinggi yang selalu kau suguhkan sesegar uap panas dari gelas kopi pagimu, jantungku mengilu...
dan segera memacu airmata keluar saat kuingat betapa kau ingin dimaafkan setelahnya
aku bingung...

sebagaimana aku sangat paham, waktu tak mengenal kata mundur
maka aku terus menatap lurus, masa depan kita...

dalam diamku aku belajar percaya dalam ketidakyakinan
belajar sabar dalam ketidakpastian

percaya aku mampu terus bangkit dalam ketidakyakinan akan kekuatanku sendiri
sabar dalam ketidakpastian seberapa dalam sabarku

jujur aku hanya ingin dipeluk, benar-benar disaat suka, benar-benar disaat duka...

aku hanya ingin dekapan hangat menenangkan
disaat kau benar-benar gembira
disaat kau benar-benar marah....
agar aku tetap percaya dalam ketidakyakinanku
kau menginginkanku saat kau gembira
dan tak mau melepaskanku hanya karena kau marah...

Sunday, August 28, 2011

Renungan


Hari ini, malam 26 Ramadhan. Hanya tinggal beberapa hari menuju akhir. Bagiku setiap ramadhan selalu menjadi titik renungan. Merenung untuk memulai syawal yang indah. Merenung bukan berarti berhenti bergerak, duduk diam, berfikir, lalu tidur. Merenung berarti menegur diri sendiri atas apa yang telah dilakukan, diputuskan, dan yang telah gagal dilakukan.

Ramadhan kali ini bagai sebuah momentum titik tertinggi untuk sepanjang tahun yang telah kulalui. Tahun ini, aku ada dipuncak terendah, tertinggi lalu meninggalkannya dengan penuh keyakinan.

Dengan penuh yakin aku masuk ke satu institusi, yang sangat menempa mentalku. Aku sempat terpuruk karenanya. Pisah dengan orangtua, ditempat baru dan asing. Sebuah keterpurukan akibat pilihan yang terburu-buru.

Tapi dengan itu, aku banyak belajar tentang takdir Tuhan, tentang rasa cinta dan kehangatan keluarga, tentang kemandirian, sifat dan perilaku budaya lain dan juga, ikhtiar…

Saat itu ayahku pernah bilang “kita kadang sering tidak yakin dengan diri sendiri bahwa kita bisa. Padahal sebenarnya ya kita memang bisa, kalau ikhtiar.”

Karena aku mau, maka aku yakin. Karena aku yakin, maka aku berusaha. Dan usaha itu membawa hasil. That management seeing on me. Because they’re seeing, they’re believing. And put me on extra comfort zone and job I ever had.

Tapi tahukah sebenarnya? Manusia didunia tidak membutuhkan tempat yang nyaman dalam hal apapun. Dalam pekerjaan, karir atau cinta. Karena tidak selamanya nyaman itu berarti baik. Manusia hanya butuh tempat yang ‘tepat’ baginya. Tempat yang nyaman belum tentu tepat bagi kita, tapi tempat yang tepat sudah pasti nyaman. That’s why human resources management focus is ‘the right people on the right place’

So here I am, the right people on the wrong place.

Keluar dari comfort zone ini bukan perkara mudah. Aku sudah terlanjur berada dalam lingkaran penting sebuah institusi. Atasanku bukan sekelas kepala kantor lagi. Dia pemegang kendali utama. Tapi ‘keluar’ adalah hak setiap orang yang bekerja, itu landasan keyakinanku. Apapun alasannya dan bagaimanapun caranya.

Langkah besar ini kufikirkan berbulan-bulan. Kata mama yang penting yakin. “fikirkan baik-baik. Tanya hati. Jika ragu, berarti tidak. Jika yakin, berarti iya. Katakan Aku Yakin!!!. Dan Allah ada bersama kata yakin itu.”

Dan keputusan besar itupun kuambil setelah pertanyaan mama yang menyadarkanku : kenapa kamu punya agama? Apa karena kami (orangtua) punya agama? | Karena aku percaya ada Tuhan | Kenapa kamu percaya? Pernah lihat? | Enggak, karena aku yakin Dia ada dan bekerja.|

Singkat, tapi cukup menjelaskan pada diriku sendiri untuk berlaku; yakinlah lalu lakukan.

Lahir dari sebuah keyakinan sekarang aku disini, ditempat yang aku yakini teduh. Secara mental dan lahiriah. Inilah tempat yang tepat buatku. Aku menyebutnya kembali ke ‘rumah’. Karena sebenarnya aku pernah berada disini dua tahun lalu, saat baru saja lulus kuliah.

Saat baru pertama kali menginjakkan kaki ‘lagi’ aku berbisik dalam hati “welcome home sarah…” sambil tersenyum.

Inilah yang sangat penting dalam hidup. Tentang perasaanmu sendiri dan bagaimana engkau memandang dirimu itu. Bukan bagaimana orang lain memandangmu. Tentang mengikuti kata hati untuk sebuah keputusan, dan lupakan apa kata orang akibat keputusan itu. Kita tidak bisa menjadi besar atau kecil berkat perkataan orang lain.

Masa transisi adalah masa dimana aku tutup telinga, mata dan hati untuk tidak menggubris apapun yang dikatakan orang terhadapku. Kenapa aku keluar dan atas alasan apa. Totally that’s their own business, not mine at all.

Setiap perubahan tidak pernah mudah, pasti ada rintangan yang dapat mengganggu fokus. Maka jangan pernah menoleh. It’s so blessed when we know what we really want in life, and so great when we can achieve it. Jadi aku tidak ingin mempertaruhkan apa yang telah kucapai hanya untuk mendengar perkataan orang.

‘Rumahku’ sekarang tempat dimana aku menempa kebahagiaan. Bagaimanapun tidak ada manusia yang mampu bahagia dengan mudah. Semua butuh perjuangan. Disini aku berkali-kali jatuh, menangis, dan hampir menyerah. Sebagian besar terjadi di ramadhan kali ini. Sungguh cobaan yang indah. Tapi berkali-kali juga aku kembali tersenyum, bangkit, dan berdiri tegak. Semua karena aku telah yakin, dan bertanggung jawab atas keyakinan itu. Maka aku menjadi lebih ikhlas saat jatuh dan dengan mudah bangkit lagi. Aku bahagia.

Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony -Mahatma Gandhi-

Aku merasakan keselarasan itu…

Ramadhan ini membuatku berfikir ulang tentang apa yang telah kualami, semua keputusan, pembelajaran, dan keyakinan untuk berubah dalam hidup yang telah kulakukan. Karena dibulan spesial ini kita diberi kesempatan untuk berubah menjadi hamba yang lebih baik.

It is not the strongest of the species that survives. Nor the most intelligent. But the one most responsive to change -Charles Darwin-


Semoga ramadhan ini, menjadi momen pembelajaran untuk perubahan sepanjang tahun terakhir yang telah kita lakukan masing-masing. Menjadi pribadi yang lebih baik bagi diri sendiri, keluarga, sahabat, dan di mata Allah. Dan syawal nanti kita dapat terlahir suci kembali. Fitrah lahir dan batin.

Saturday, August 13, 2011

Kado Kedua


Ketika kabut lenyap karena turunnya hujan, itu adalah kau...

Ketika angin berbicara pada ranting : kuhembuskan daun keringmu untuk yang baru.
harapan itu... adalah kau.

ketika plasenta melindungi janin dengan gagah namun lembut... itu adalah kau.

ketika penulis menumpahkan hasrat pada gerak pena pada kertasnya
tetap itu adalah kau...


aku mencari suaramu dalam gerak angin
angin tetap sumbang...
karena hembusan yang sebenarnya harus berpadu dengan bibir dalam nafasmu
itu sebenarnya kau.

jika merindu, aku mencari bentuk parasmu dalam gugusan bintang
bintang tetap menyebar.
karena matamu harus bertemu dengan hidungmu yang sempurna dan senyum yang melebihi cerahnya bintang... maka itu baru kau.

saat kusendiri membeku dalam dingin
sekonyong-konyong kau datang
mendekapku penuh dalam dadamu
menangkupkan kepalaku dan membisikkan, cinta...
yang terdengar biasa, namun punya makna
sangat sederhana, namun sempurna...

lalu aku tak peduli yang lain
dekapmu dalam nafas penuh kasih, meruntuhkan segalanya...
segala yang negatif, benci, sakit, dan ego
seluruh magnet tubuhku bergerak mencari medan megnetnya dalam tubuh yang berbeda,
tubuhmu...

kau dan aku berpadu dalam dua nafas, dua tubuh, dua raut, dua darah
namun sedang berjalan menuju satu rumah
dimana kau dan aku tak dapat berhenti tersenyum walau satu detik

jadi jangan pernah memintaku berjanji untuk selamanya ada dalam jangkau tanganmu
aku yang memang tak bisa melepas...
genggam tanganku, aku akan menggenggam tanganmu lebih erat
aku tak akan melepaskannya sampai kau yang melepasnya lebih dulu.

Selamat ulang tahun Sayang...
I'll always standing here right beside you.

Monday, May 16, 2011

Menuju-MU

Aku bersimpuh…

Bukan karena surga sudah terjanji

Tapi karena Engkau…

Hening dalam ributku

Pelipur dalam laraku

Maha Pencipta dan Maha Penghancur.

Yang menjadikan bumi sebagai hamparan

Gunung-gunung sebagai pasak

Menjadikan manusia berpasang-pasangan

Malam bagai selimut, dan siang untuk penghidupan

Yang membangun tujuh langit yang kukuh

Dan pelita amat terang, matahari…

Ya Allah… dalam gundah, Kau ada antara nafas dan istighfar-ku

Saat syukur, Kau ada antara senyum dan sujudku

Hanya Engkau, yang kuyakin tanpa kulihat.

Semesta kelabu, menyapu cahaya…

Langit pun jadi sendu

Dan lalu aku menangkupkan tangan menundukkan kepala

Yang terbatas mengadu pada yang Maha Tiada Batas

Bahwa aku raga, yang empunya Engkau

Kaulah yang menentukan konsep hidup

Bahwa aku jiwa yang tiada daya. Engkaulah yang Maha Daya.

Kepala yang tunduk, menundukkan egoku.

Memahatkan sabarku…

Tiada bantah akulah yang lemah

Aku terus belajar, agar pantas disebut yang Engkau janjikan

Memuliakan hamba-hamba yang sabar.

Ya Mujibas saa-iliin…

Pintaku terlalu banyak tak terbendung

Ingin menginjak surgaMu

Ingin mulia di mataMu

Ingin jodoh terbaikMu

Ingin rezekiMu

Ingin rahmanMu.. ingin rahimMu

Allah…

Apa aku pantas..??

Dalam tunduk…dalam hening…

Aku ingin menyusuri jalan lurus menujuMu ya Allah…

Nanti, kembali dalam pangkuanMu

Jika pasti aku mati, biarlah itu hanya ma’rifat kepadaMu…

Apabila langit terbelah dan patuh kepada Tuhan-nya. Dan sudah semestinya langit itu patuh. Dan apabila bumi diratakan. Dan dimuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong. Dan patuh kepada Tuhan-nya, dan sudah semestinya bumi itu patuh. Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju TuhanMu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.

(Al-insyiqaq :1-6)

Thursday, March 3, 2011

PILIH


ini bukan tentang maju atau menyerah
ini tentang menyelaraskan harapan dengan kenyataan
tentang meninggalkan mimpi yang satu
untuk meraih mimpi lain yang lebih tinggi
karena mimpi seperti hidup jua, kadang harus memilih...

Tuesday, February 15, 2011

Men - Cinta - i


Baiklah -aku fikir- aku ingin menulis jujur malam ini. Menelanjangi diri diatas kertas dan tak peduli. Bukannya selama ini -setelah banyak orang tahu dan komentar tentang tulisanku- aku menjadi tidak jujur dalam menulis. Bukan sama sekali. Mungkin kondisi dimana manusia menuntut diri sendiri untuk menciptakan yang lebih dari sebelumnya setelah ia dipuji adalah sesuatu yang manusiawi. Normal. Tapi itu membuatku jadi lebih ‘peduli’ seperti : bagaimana nanti? Apa kata mereka tentang yang ini. Bagian yang itu. Alur seperti ini. Ide yang itu.

Pertanyaan seperti itu muncul setelah, ya… aku mengalami pendewasaan karakter dan gaya dalam menulis, tulisanku mulai dibaca lebih banyak orang. Lalu aku kehilangan sesuatu yang tak kusadari. Prinsip yang kutanamkan dari kelas 3 SD dulu saat pertama kali aku bisa menulis sesuatu : Pikir, Tulis dan Tak peduli…

Tak peduli, adalah kunci terakhir yang membuatku mendapat oksigen lebih banyak setelah menulis. Lega.
Tak peduli, terakhir tapi penting. Agar kejujuranku dalam menulis tetap terjaga. Tanpa tekanan, beban, dan tujuan palsu. Bukannya seni seharusnya seperti itu. Jujur dan bebas.

Jadi malam ini tanpa peduli. Aku akan menanggalkan satu persatu benang yang membalut kejujuran itu sendiri.

Malam ini. Jujur.
Aku sedang tercekat. Leherku sakit. Klise kedengarannya. Tapi aku tak malu mengatakannya. Jujur. Aku sedang menahan tangis.
Entah tangis macam apa yang sedang kutahan untuk keluar. Aku sungguh tak berani untuk tahu. Aku sungguh tak punya kekuatan untuk mengeluarkannya dari leherku agar kutahu seperti apa rasanya.

Malam ini. Jujur.
Aku mulai berfikir ulang tentang salah satu takdir Tuhan “Mencintai Seseorang”
Aku berfikir bagaimana sebenarnya rasa “Mencintai Seseorang” itu.
Aku mulai menerka.
When you love someone, kau tak peduli rupa dan raga.
Mencintai seseorang itu adalah ketika kau sudah kehilangan rasa, gairah. Tapi kau tetap peduli padanya.
Mencintai seseorang itu adalah saat kau jatuh cinta berkali-kali dan selalu pada orang yang sama.

Ketika kau mencintai seseorang, kau menjadi bodoh dan pintar disaat yang bersamaan. Kuat dan lemah disaat yang sama. Jatuh dan bangkit lagi di waktu yang sama. Hal-hal yang mustahil terjadi bila kau sedang tidak mencintai seseorang.

Mencintai seseorang itu adalah ketika hormon dopamin, norepinefrin, dan serotonin menyatu sempurna dalam tubuh yang bisa menyebabkan manusia kecanduan, denyut jantung meningkat, dan tidur lebih larut.

Mencintai seseorang itu adalah ketika kau masih merindukannya meski dia sedang memelukmu.
Kau ingin dia ada disetiap jengkal waktu yang melalui hidupmu. Kau ingin dia tahu, warna apa yang sedang bersemayam dalam hatimu. Merah atau kelabu. Gembira atau sedang sendu.

Malam ini. Jujur.
Aku tidak bisa memastikannya dengan tepat atau tidak. Apakah sekarang aku sedang mencintai seseorang atau hanya dicintai seseorang.
Tiba-tiba aku kehilangan sensitivitas rasa dan tidak mampu membaca apa yang kuingin dan kurasa.
Jika diberi pilihan, aku akan berkata “terserah”
Jika ditanya kenapa, aku akan menjawab “tidak tahu”
Bukan karena aku marah atau malas. Tapi karena aku memang terlalu lemah untuk memilih dan aku tidak tahu alasannya kenapa.

Aku telah membayangkan bagaimana dan dimana seharusnya jika aku dan kamu saling mencintai. Namun aku tidak tahu kita dimana. Kita tidak berada di titik yang ada dalam bayanganku itu.

Mencintai seseorang itu adalah ketika kau masih merindukannya meski dia sedang memelukmu.
* iya, aku memeluknya setiap kali kami bertemu, dan aku masih selalu rindu.

Kau ingin dia ada disetiap jengkal waktu yang melalui hidupmu.
* iya aku ingin, tapi dia tidak selalu ada.

Kau ingin dia tahu, warna apa yang sedang bersemayam dalam hatimu. Merah atau kelabu. Gembira atau sedang sendu.
* tidak setiap waktu. Kadang aku bersembunyi . seperti malam ini. Aku sedang tercekat . menahan tangis hingga leherku sakit. Aku tidak ingin dia melihat. Maka aku beringsut ke pangkuannya, menyembunyikan wajah sebisa mungkin. Menutup mata menahan airnya. Biarlah dia fikir aku sedang tertidur pulas. Aku hanya tidak ingin dia sedih dan merasa bersalah karena tangisku.

Lalu jika begini. Adakah yang bisa menjawab agar aku yakin. Apakah sekarang, aku sedang “mencintai seseorang”?

Monday, February 7, 2011

SEDERHANA


“Kau mau apa Pri?”

Tiada yang terdengar selain hening yang merajai kita dan sepotong puisi tak selesai. Diantara kita, terbentang bermil-mil jauhnya dinding egosentris.
Aku rasakan hela nafasmu, tapi aku tak tahu muaranya. Atau mungkin karena kau sama seperti ibuku. Berkelamin wanita. Yang katanya, sangat sulit diterka.
Mataku ke arahmu, yang sedang memandang rembulan. Tolong jangan bilang indah. Aku sudah mendengar itu beratus-ratus kali dari mulut setiap wanita. Bulan itu diterangi matahari. Kau mau bilang benalu seperti itu indah?

“Kau mau apa Pri?” dengan nada lebih rendah dari teguran pertama.
Ah, tapi percuma saja. Bukannya menjawab, kau malah membasahi bibirmu dengan lidah.
Membuatku semakin tak berdaya…

Bisakah kau bicara Pri?
Bahkan untuk sekedar memakiku pria bajingan atau hidung belang.
Aku ini apa?
Kekasihmu atau patung yang sedari tadi menemanimu terlentang diatas pasir pantai memandangi langit berombak kelabu.

“Kamu melihat apa diatas sana?”

“Kamu…”
Aku terdiam… memangnya rumahku dilangit?

Wanita rapuhku ini lantas mengepalkan jari-jarinya. Diletakkan diatas telapak tanganku yang terbuka. Lalu kubungkus erat kepalannya dengan jari-jariku.
Pri memang suka begitu. Katanya lebih hangat dan dirajai.

“Setiap aku rindu kamu. Aku selalu melihat langit. Menggerakkan awan-awan itu dengan jariku agar membentuk wajahmu. Lalu kugapai-gapai, supaya bisa mengelusmu.”

Nafasku tertahan. Terlalu rapuh anak kecil ini. Bagaimana aku bisa meninggalkannya sendirian.

“Tapi kamu nggak boleh cemburu dengan langit. Aku tidak menduakanmu seperti kau menduakanku. Aku hanya mencari pelipur.”

Dia tersenyum. Cantik sekali. Seperti pertama kami bertemu waktu kecil dulu. Pipinya bulat seperti apel. Merah merona jika tersipu malu. Apalagi dulu, saat pertama kali kuhadiahkan kupu-kupu. Dalam plastik. Kutangkap. Untuknya saja.

“Bagaimana kabar anak-anakmu? Leah kemarin ulangtahun kan? Kau dan istrimu tidak mengadakan pesta?”
Dia benar-benar tersenyum saat menanyakan ini. Entah untuk apa. Agar terlihat ikhlas, tegar, atau tersiksa.

“Sudahlah Pri. Aku tidak mau membicarakan mereka saat bersamamu. Aku tidak bisa sering menemuimu. Waktu yang singkat ini jangan dihabiskan untuk hal yang tidak penting.”

Wanita ini kembali tersenyum, matanya masih tetap memandangi langit gelap. Kepalan tangannya masih kugenggam.
“Aku kesini hanya untuk minta maaf. Karena beberapa kali aku tidak memenuhi janji menemuimu.”

“Tidak apa. Bukannya aku sudah biasa?”
“Tapi tolong jangan diamkan aku seperti beberapa hari kemarin. Tolong Pri. Aku tidak bisa kehilanganmu…”

Pri masih saja diam. Aku tidak memiliki keberanian untuk berkata lebih banyak. Aku tidak ingin memberikan tekanan lebih kuat lagi.

***

Dua puluh menit berlalu. Kami belum bicara apapun. Hanya bermain dengan fikiran masing-masing. Aku tidak tahu Prisa. Mungkin dia hanya benar-benar diam saja.
Kadang memang itu lebih baik, daripada bicara sesuatu yang belum tentu bisa ditanggung akibatnya. Jadi lebih baik diam.

Aku mengumpulkan banyak kemungkinan jawaban jika kutanya apa maunya. Mungkin dia ingin aku segera bercerai. Mungkin dia ingin bunuh diri saja. Mungkin dia ingin dia yang ditinggal. Mungkin dia ingin menghentikan polemik cinta ini dengan membunuh aktornya. Aku.

Dengan segenap keberanian aku lalu bertanya.
“Pri, kau mau apa?”

Airmata menggantung di sudut kelopaknya.
“Aku ingin dipeluk”


Dan wanita kecilku itu menangis, dipelukanku. Sepanjang malam hingga subuh…

***

Wednesday, January 26, 2011

C.A.N.D.U


Lenting mata sudah gelisah
Tubuh rebah pada pagi yang sudah terlanjur,
Gerimis…
Aku keluar, menginjak rumput basah
Dengan semua tumpukan elegi berbahasa sendu mengunung-gunung.
Rasa membuncah…
Aku ingin mati saja.
Sore ini kalau bisa…
Tapi jika kumati, kau dengan siapa?

**

Gerimis ini, aku tidak suka…
Jatuh sebagai pembuka, halus kecil tak terasa…
Aku lebih suka hujan lebat
Besar dan berarti…
Seperti caraku mencintaimu…

**

Lenting mata sudah sangat gelisah
Hitamnya bergerak kesana-kemari, mencarimu…
Kakiku sudah kedinginan, hampir beku…
Aku ingin tidur denganmu seperti biasa
Menikmati kaki hangatmu menimpa kakiku
Tanpa menyentuh tubuhku
Agar aku terjaga sepanjang malam tanpa diganggu

**

Dibawah gerimis yang kubenci ini
Aku berlari,
Dari kesepian yang berubah wajah dari damai menjadi momok…
Dari dingin yang selalu memenuhi ruang otak dengan belenggu
Aku benci dengan orang-orang munafik ini
Tempat ini kotor, semuanya.
Ucapan. Pujian. Gerakan. Semua munafik.
Hingga tak sudi kuhirup udaranya
Karena juga munafik.

**

Aku hanya ingin kamu…
Yang memberikanku keganjilan dari sejak aku lahir ke dunia
Lalu menggenapkannya saat pertemuan pertama kita.
Hanya kamu…
Yang selalu memahami maksudku sebelum kata kuucapkan.
Iya, memang hanya kamu…
Yang sudah mengenali setiap jengkal tubuhku
Aku tidak ingin berselingkuh dengan sentuhan lain
Kamu. Canduku.

**

Dimana kau Fu…?
Dimana kau menjejakkan kaki…?
Aku ingin ketempatmu itu.
Hanya untuk bilang satu,
Aku RINDU.