Tuesday, November 30, 2010

Kala Cahaya


Kurebahkan tubuh lelahku disalah satu sofa resto ini. Kulirik jam dengan ekor mataku, satu jam lagi, batinku menjawab. Cukup untuk mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada selama satu tahun ini. Aku terus mengingat, khawatir ada yang terlupa.

Kalau sehari saja aku selalu bertanya lima kali, maka nanti akan keluar 1825 pertanyaan yang harus dijawabnya untuk menghabiskan rasa marahku selama setahun ini.

Setahun yang sangat berat bahkan untuk tersenyum ditutup dengan email singkat pagi tadi dari Kala, lelaki yang telah membuat dingin terasa panas, kering terasa basah, imaji terasa nyata, malam terasa siang, benalu terasa raja. Duniaku berputar terbalik. Tanpa kabar, tanpa pamit ataupun bekas, Kala pergi meninggalkanku. Aku marah membaca emailnya, kurasa itu sangat kurang pantas untuk menutup penantian ~tigaratusempatpuluhlima~ hariku.

Dua belas menit berlalu, aku mulai mengotak-atik ponsel, membuka email Kala entah untuk keberapa kalinya. Sebagian hatiku memang ingin memastikan bahwa email itu memang ada, bukan khayalan atau fatamorgana otakku. Namun sebagian besar yang lain karena aku rindu. Hanya melihat email yang dikirim Kala saja rasanya bagai oase, iya aku sangat rindu.

Rindu gigi putihnya saat ia tersenyum lebar. Rindu semangatnya yang meledak-ledak, rindu tangannya yang selalu bergetar menekan shutter canon-nya saat ide keluar deras. Tangan yang tak siap mengimbangi otak. Rindu Kala sang pemikir sederhana yang selalu bilang : masa kamu nulis nunggu inspirasi datang? Nulis itu di tangan sama di jiwa, bukan di inspirasi. Sama kayak motret, penting memang merhatiin diafragma dengan bukaan berapa, membandingkan kondisi cahaya dengan ISO yang dipakai, mencari angle. Tapi ada yang lebih penting dari itu, hati. Motret pake hati beda dengan motret pake teknik tingkat tinggi. Fotonya lebih jujur.
Airmataku menggantung mengingatnya.
Kala memang seperti itu, sederhana dan indah.

Lima puluh tujuh menit berlalu, perasaan tidak enak menghampiriku, saat sesosok wanita cantik dengan bulu mata palsu memasuki pintu dan melihat ke arahku. Aku menatap bingung. Dia lalu tersenyum. Aku mengernyitkan dahi. Dia semakin dekat menghampiriku, datang sambil merangkul pria gagah disampingnya, seakan tak ingin terbagi…

“Hai Cahaya…”
Aku tercekat…
Suara palsu dan sosok ini sangat kukenal. Sangat. walau berubah menjadi apapun. Aku tidak akan pernah melupakannya. Bertahun-tahun kami bersama hingga kurindu nafasnya.
Lelaki disampingnya tersenyum ramah, ramah yang menjijikkan.
Lalu siapa ini?
Wanita cantik berambut panjang ber-make-up tebal, aku tidak kenal namun merasa dekat, aku tidak mendekap namun terasa hangat.

“Siapa kamu?” tanyaku ragu.
“Kala”
Jawaban singkat, malah terlalu singkat untuk meruntuhkan duniaku.
“Kala? Kala siapa? Kala pacarku?”
Tolong jangan katakan ini benar. Tolong hentikan detik ini. Aku tidak mau ada disini jika ini benar. Tolong bunuh aku. Tolong Kala….

“Iya Cahaya. Dulu… sekarang hanya teman.”
“Anggun suaramu dibuat-buat. Wajahmu bohong. Bagaimana aku bisa percaya? Kala sangat jujur. Kala tidak pernah menyembunyikan apapun dariku.”
“Aku bohong Cahaya, aku selalu berbohong. Kebohonganlah yang membuatku pergi.”

Aku semakin tercekat, tiba-tiba Kala memberiku tisu. Oh, aku menangis rupanya? Apa yang kutangiskan? Aku tidak tahu dan tidak sadar. Aku hanya benar-benar ingin membunuhmu dan pacar lelakimu ini sekarang.

“Ada banyak sekali hal yang ingin kutanyakan padamu Kala.” Gigiku beradu geram.
Aku mencoba mengingat 1825 pertanyaan yang sudah terkumpul rapi. Tapi tidak bisa. Hanya satu yang tersisa : kenapa kau meninggalkanku?

Tapi apa lacur, pertanyaan itu telah terjawab sesaat setelah kulihat dirimu Kala, menggenggam erat tangan pacarmu. Kau terlihat sangat utuh, sementara aku terlihat sangat hampa.

“Cahaya… aku mencintainya.” Tiba-tiba Kala berkata. Berusaha menangkis semua tuduhan yang dilontarkan mataku. Aku berubah dingin, kututup mata, kutundukkan kepala. Mendengarnya saja aku sudah jijik, apalagi melihat wajahnya yang palsu.

“Cinta memang buta Kala, tidak punya mata. Tapi kita punya kan?” sahutku dalam kelam.
Kala terdiam, tiada jawab terlontar, tiada bela yang terucap. Hanya diam dalam taut kebohongan yang ada.

Ini semua benar-benar diluar kendaliku. Tipisnya pemisahan beda yang dilakoni Kala sekarang tak bisa kubaca. Aku sama sekali tak tahu bedanya, apakah berubah menjadi seorang wanita bagi Kala adalah sebuah kejujuran pada diri sendiri atau kebohongan yang sejati. Mungkin baginya, dia jujur, ingin menjadi seperti sekarang. Demi cinta, demi hasrat.

Aku sudah tidak kuat, aku hanya terduduk lesu di sofa ini. Lelaki yang sangat kucintai seluruh jiwa pergi meninggalkanku dengan lelakinya.
Pergilah Kala, pergi yang jauh, bawa mimpi dan hasratmu yang tak mau kumengerti itu. Ambil setengah jiwaku pergi sekarang. Kau telah mengambil sebagiannya setahun yang lalu. Sekarang biarkan aku merasa lengkap. Lengkap ditinggal olehmu. Tak ada cinta tersisa, tak ada janji yang masih tertunda. Aku telah siap menghapusmu.

Sore itu Kala meninggalkan selembar foto. Aku membukanya hati-hati, aku tidak ingin kejutan lagi. Cukup sudah.
Ternyata foto segerombolan kunang-kunang dengan luminescence, bertarung digelapnya malam, banyak dan cantik.
Tertera tulisan tangan dibaliknya.

Judul : Kala Cahaya Menghampiri. Karya : Kala. Bit Depth : 24, Camera Model : Canon EOS 40D, Shutter Speed : 1/60 sec. F-Number : F/5.6 , ISO Speed : ISO-200, Date Picture Taken : 12/08/1998 23:13 PM

Untuk Cahaya :
Aku tidak ingin dimengerti, hanya ingin diterima.
Aku ingin seperti foto dengan data exif, semua orang bisa melihat jati diriku dan bagaimana aku bisa ada.

Sunday, November 28, 2010

Warung Kopi

Riuh redam suara sore ini menggigit kupingku...

warung kopi ini lengkap, menyuguhkan semua kerusuhan yang melunturkan ribut hatiku...

menari didepan mejaku kesunyian dihantarkan melalui bapak tua perokok sendirian

kerut pipinya melukiskan kehampaan amat dalam

dikananku pemuda-pemuda metropolis,

yang lebih meributkan soal otomotif hura-hura dibandingkan cinta...

keempatnya menghisap rokok

duduk disampingku langit,

yang selama ini menjadikanku tanah yang dinaungi dan dilindunginya

berpangku dagu dengan tangan kiri mencari kesenangan hidup dari hasrat booking online konser musik idamannya

tangan kanan memegang rokok, dan perlahan menghisapnya dalam-dalam

langitku sedang diam, dalam balutan kerusuhan dan riuh rendah sore di warung kopi ini

bercinta dengan rokok dan konser musiknya

aku ingin ada disitu. disitu... di dalam hisapan rokokmu...

hisaplah aku... masuk ke dalam ronggamu dan memompa jantungmu

mengalirkan darah ke seluruh sel tubuhmu

dalam sore ini... di warung kopi rusuh ini...

hisaplah aku langit biruku...