Pacarku jiwo…
Saat embun belum turun, Jiwo mengayuh sepeda ke pasar
Udara dingin dan langit gelap hanya ditelan pahit
Menggenggam erat-erat uang lima belas ribu
Modal jualan hari ini
Kakinya tak gentar mengayuh sejauh tujuh puluh kilo menuju ke desa seberang
Kata Jiwo, harga telur dan daging disana lebih murah
Maka seperti inilah dia sekarang, tanpa keluhan, tanpa lelah, tanpa takut
Melintasi hutan mawea yang lebat, gelap, sunyi dan angker…
Bapakku pernah cerita, dihutan mawea sana hidup beribu-ribu jenis siluman buaya
Cerita aneh yang benar-benar dipercaya oleh orang-orang desa seperti kami yang tidak tamat sd.
Itu yang membuat harga sembako di desa mawea lebih murah
Karena tidak ada orang yang mau jalan sampai ke pelosok sana untuk belanja
Biasanya penjual-penjual beras grosir dari kota cuma mentok sampai ke lumbung padi desa kami saja
Tidak ada yang pernah menyebrang, kecuali Jiwo…
Jiwo tidak tamat sd, bahkan tidak pernah sekolah, tapi dia tidak percaya dengan betapa megahnya cerita hutan mawea berkembang di masyarakat kami
Baginya, kelangsungan hidup kesebelas adik-adiknya lebih penting daripada cerita tak bersumber itu
140 kilo setiap pagi tidak berarti apa-apa baginya…
Pacarku Jiwo tidak pernah belanja banyak untuk persediaan martabak telor keesokan harinya
Dia bilang, belanja setiap hari, biar bahan-bahan tetap seger
kata rentenir yang ngasih dia modal, sebutannya Pres Prom Di Oppen!
Disaat matahari sedang diatas ubun-ubun kepala
Pacarku Jiwo mendorong gerobak kearah kota, sambil memukul-mukul sutil ke kuali besi, Jiwo berteriak-teriak “Martabak!! Martabak!!”
Berjalan beratus-ratus kilo, sendirian, sepi…
Tidak kenal panas, apalagi hujan
Jiwo terus berjalan, menjemput rejeki…
Sandal jepit yang sudah aus dan hampir putus kadang terasa panas.
Beberapa kali Jiwo singgah ke mesjid untuk solat dan melepas peluh sejenak
Tak ada raut sedih, kesal, dan lelah
Tak pernah ada keluh yang keluar dari bibirnya yang kering
Jika melihat anak-anak berseragam sekolah, dia tersenyum
Teringat akan kesebelas adik-adiknya…
Pacaku Jiwo, baru kembali ke rumah pukul satu dini hari
Badan direbahkan, walau tidur berhimpit-himpitan dalam rumah gubuk seluas 6x6 meter, namun bibir tetap menyungging senyum…
Senang, karena melihat adik-adiknya tertidur pulas
Satu-satunya kenikmatan yang bisa dirasakan orang miskin
Jiwo adalah permata dalam hidupku
Berlian dalam mimpiku
Zamrud dalam hatiku
Tubuh kekar dan hitam legam, ditempa oleh kerasnya hidup
Namun dia selalu saja bersyukur
Mengajarkanku untuk tidak pernah mengeluh
Dalam doanya, ada nama ibu bapaknya, adik-adiknya dan namaku…