Thursday, June 24, 2010

Setengah

Dan senjapun menjemput malam
Saat kucoba melukis warna-warni rupamu pada desau angin
Disatu-satu malam, kadang aku melengkung hening
Dari berdiri hingga terbaring, berfikir…
Dan mencoba menebak apa yang akan kau suguhkan berikutnya.

Aku tetap membaca warna-warnimu
Seiring dengan derasnya kau tegukkan aku tawa
Membuatku benar-benar menginjak bumi
Aku merasa hidup…

Kau satu-satunya yang paham
Saat aku ingin berhenti, kau pun berhenti…
Kita tidak pernah bertengkar tentang kenapa aku ingin berhenti dan kenapa kau juga ikut berhenti.
Kau bilang, ini yang disebut mengerti…

Lalu aku mematutkan diri pada benang-benang fikiran yang kau ulur.
Mencoba mengerti apa yang kau sebut itu.
Hidup sesungguhnya bukan tentang siapa yang harus kita mengerti
Tetapi bagaimana cara kita mengerti seseorang, itu saja.

Aku terpana…

Hatiku sempat berhenti menari, terpaku dalam hening nan sunyi.
Saat kau lalu hadir dan membuatku merasa hidup lagi
Iya, aku melanjutkan nafasku yang sempat tersendat.
Tapi setengah yang kosong itu belum benar-benar terisi

Dan karena aku ingin bisa kuat berlari lagi
Karena aku tidak ingin menikmati dunia ini sendiri
Karena aku membutuhkan keutuhanku
Would you be my another half….?

Sunday, June 20, 2010

Mati Rasa...

Kau sebut sebenarnya semua sama.
sama seperti dulu sebelum kita sadar bahwa kau dan aku bertingkah seperti orang yang tidak pernah kenal dan bercinta.

Terus terang aku muak dengan bentengmu.
Kau terlalu hati-hati.
Padahal aku tau dengan pasti luapan rasamu terlalu besar dari bentengmu sendiri, kau berupa dua.

Cobalah belajar jujur dengan hatimu sayang..

Kau berkata ini itu demi sesuatu yang tidak bisa aku pahami.
Bukannya kita sama?
Sama-sama ambisius..

jadi aku memutuskan untuk pergi
dan entah kenapa kau juga melepasku dengan sangat ikhlas..

Dalam palung resah paling dalam, aku diam.
Dan semua orang menganggapku gila karena diamku.

Iya, aku gila...
Kubiarkan kalian menari-nari menyakitiku sampai puas.
Melemparku ke langit, mencampakkanku ke ujung dunia, lalu menghempaskanku lagi ke bumi.
Terserah saja...
Aku akan tetap diam, tanpa tangis kesakitan...

Aku mati rasa...
Saat kau pergi meninggalkan sedih bahagia dan semua yang telah kita ciptakan.
Saat kau tak lagi berdiri disampingku. Jujur, tak ada lagi perasaan yang bisa kurasa..

Aku sadar, seluruh pertanyaan yang tiba-tiba muncul di otakku menemukan muaranya sendiri..
Semuanya kembali padamu.

Tanpa kekuatanmu,aku hanya selembar kertas usang yang rapuh, yang bisa hancur hanya dengan sekali remas.

Aku merasa ini, dalam kondisi di titik ini, semua yang kuraih dan kudapat, pujian, harapan, dan kedudukanku, adalah butir dari kerja kerasmu yang tak pernah berhenti karena lelah menempa semangat dan memacu kakiku untuk terus berlari dan menjadi perempuan kuat yang mandiri.

Kau tau aku, paham benar, dengan sifat keakuanku yang ingin selalu menang.
Kau ikuti aku terbang, mencapai hal-hal tinggi yang selalu aku impikan.

Orang-orang memandang aku..
Padahal semua itu karenamu..
Saat bersamamu, semuanya sederhana dan indah..

Namun ketika semuanya lepas dari genggamanku..
Aku terpukul, terhantam keras..
Sendiri menyudut hening..
Aku bahkan tak berekspresi apa-apa..
Tak mau berkata apa-apa..
Hanya untuk sebuah pembuktian.
Ketika kekuatan yang selalu setia bersamaku selama bertahun-tahun hilang, apa aku masih tetap sama?
Tetap bisa terbang dan berlari kencang
mengejar setiap detik untuk hidupku, tanpamu...

Dan kenapa, disaat aku berhasil kuat, tidak mengeluh bahkan meneteskan airmata...
Aku dianggap gila?

Padahal aku hanya mencoba untuk berjuang sendiri.
Menjadi perempuan kuat yang sebenarnya...
Berjuang dalam diam dan heningku sendiri...

Namun sayang, tak ada seorangpun yang bisa melihatnya...

Catatan Resah Tengah Malam Gara-Gara Kopi Part 2

Begini...
Aku tidak terlalu dekat dengan kakekku dulu.
Biasa.. Anak perempuan pasti lebih dekat dengan neneknya, dia memang mantan pelaut yang kaku...

Dan akhirnya tulisan ini hanya sampai part 2. Karna aku tidak ingin ada yang pergi dari kehidupanku lagi.

Mantan pelaut itu pergi, kakekku tidak ada lagi. Disaat beberapa tahun belakangan ini aku sangat dekat dengannya.

Aku selalu bertanya, semenjak nenek pergi. Apa aku pantas menginginkannya ikut pergi juga atau tidak?
Karena memang semua tak kuasa melawan kenyataan bahwa dialah yang paling terpukul karena kesepian sejak nenek tiada.

Kesepian menggerogoti tubuhnya yang dulu kekar. Perempuan terbaiknya pergi, setelah setia berpuluh tahun mendampingi.

Penyakit yang mengalahkan kakek bukan apa-apa, smua sakit itu datang dari hati dan kesedihannya sendiri.

Maka, kami fikir, dia mungkin akan lebih tenang menemani nenek, daripada terus menemani kami disini, menyambut kedatangan anak dan cucu setiap weekend, selebihnya.. dia sendiri.

Gelombang waktu yang singkat menyuguhkan padanya satu asa, yang tidak pernah bisa dimengerti olehku, bahkan oleh mama -anaknya sendiri.

Satu minggu sebelum kakek pergi, mama pernah bilang, kita sudah sampai di satu titik dimana kita sudah harus ikhlas, bahkan saat dia masih bernafas, kita harus bisa memulai doa baru. Berdoa agar Allah bisa mengambil nyawanya dengan cepat dan mudah. Karena kita smua tidak ingin melihat dia tersiksa dengan penyakit itu terlalu lama.

Awalnya berat memulai doa -yang aku fikir aneh- seperti itu. Namun akhirnya aku sadar. Cepat atau lambat, besok atau lusa, tahun ini atau beberapa tahun lagi, aku, kita, kakek, mama, ayah, dan semuanya yang bernafas akhirnya akan masuk ke ruang tanah sempit 2x1 meter itu, gelap dan sendiri. Hanya ditemani satu hal, iman.

Dan pada hari jumat kelam namun indah karena keikhlasan itu, kedatanganku benar-benar tidak ditunggu. Aku sadar.. Aku tidak terlalu tinggi untuk ditunggu oleh jasadnya. Jarak dan waktu tidak bisa kutembus begitu saja.

Dan memang setiap kematian memberikan kita pembelajaran. Aku belajar tentang keikhlasan saat itu. Aku benar-benar dipaksa untuk ikhlas. Ikhlas untuk tidak bisa menciumnya di saat-saat terakhir, ikhlas untuk tidak bisa berbaring dan memeluknya terakhir kali, ikhlas untuk hanya berdoa dari jauh saat detik dia dimakamkan, dan ikhlas untuk puas hanya dengan berdoa dipusaranya saja.

Semuanya berjalan sangat cepat. Namun kematian kakek adalah kematian terindah yang pernah kami alami.

Karena dia pergi dengan indah..
Karena dia pergi dengan senyum..
Karena dia pergi dengan mudah dan nyaman..
Maka kesedihan itu hilang
dan kami semua ikhlas..

Dan semuanya, semuanya sangat indah..
Dan semuanya merupakan pertanda..

Selama seminggu perasaan sangat takut kehilangan dia menghinggapiku. Dan aku memang benar-benar sangat takut.
Aku takut tidak bisa mengelus-ngelus kakinya lagi saat dia sakit, itu salah satu favoritnya. Bayang-bayangku saat buru-buru nyetir dan panik membawa dia kerumah sakit terus berputar di otakku. Aku bingung, kenapa?

Saat itu aku ingin balik kerumahnya, seharian menghabiskan waktu dengan dia. Dengerin dia cerita masa penjajahan belanda -cerita kesukaannya. Namun, tidak bisa.. Jarak yang terlalu jauh menghalangiku.

Hari-hari itu aku mencoba meyakinkan diri bahwa kakek akan sembuh, and he will be fine.

Namun, diujung waktu yang lain.. Kakekku sendiri sangat tahu, ketika cahaya itu telah mendekat dan nenek sudah membuka lebar tangannya.

Jadi sekarang aku mulai bisa menyikapi segala hal dengan dewasa. Dewasa untuk bisa mengerti bahwa saat hujan turun sangat deras dan manusia mulai berfikir tentang betapa sialnya dia hari itu karena hujan, aku harus bisa berfikir betapa senangnya manusia lain di belahan dunia sana karena hujan turun. Allah memberikan segala hal untuk makhluknya belajar.

Saat kabut duka menyelimuti keluarga kami karena meninggalnya kakek dan semua orang mulai berfikir tentang betapa sedihnya kami hari itu karena kehilangan, aku harus bisa berfikir betapa senangnya kakek akan bertemu nenek dan betapa tenangnya dia disana..


Specially for : alm.Kamaliun simatupang & almh.Salbiah purba, alm.Arab dzaelani & almh.Saerah

¤ Jadikanlah makam mereka seindah taman-taman disurga ya Allah.. ¤