Friday, November 23, 2012

someone will call me 'mom'


minggu demi minggu terlewat sangat kuat sebagai pengingat
kau sangat menyadarkanku bahwa kau ada didalam sana
bersanding dengan organisme lain dan dianggap asing
keasingan itu membuatku sangat tidak nyaman, makan, tidur, dan bergerak.
dunia serasa akan runtuh.
namun kau begitu aneh, karena kau satu-satunya ketidaknyamanan yang menyenangkan.

lalu enam belas minggu pun terlewat
semakin hari kau semakin besar
mengintip kegiatanmu sedikit saja,
mendengar jantungmu berdetak diperutku
setiap kata seperti ditahan waktu yang berhenti melaju, aku takjub...
makhluk mungil dan pintar yang dititipkan Tuhan padaku ini begitu lucu.
bergerak-gerak tak bisa diam.
bermain dalam area paling nyaman buatnya, rahimku.

setiap bulan melihatmu berkembang itu adalah keindahan kecil yang sederhana
melihat kepalamu telah terbentuk, tangan dan kaki mulai terwujud
telinga mulai medengar, mata yang sudah mampu menangkap cahaya
otot yang mulai kuat, mulai menghisap jari, mulai cegukan...
kesempurnaanmu yang mulai lengkap, melengkapi hidupku.

hari-hari untuk menyambutmu mulai dekat sayang.
aku dan ayahmu semakin tidak sabar
kami begitu menikmati saat-saat menjagamu di perutku
memilihkan baju, tempat tidur, dan sepatu mungil untukmu

hadirmu telah dinanti
untuk mengubah hidup dan perasaan semua yang menyayangimu
kau ada karena kebahagiaan dan lahir juga dengan kebahagiaan.
maka terjadilah...

sesungguhnya bukan aku yang sedang mengandungmu
namun kau yang mengandungku untuk sampai pada waktunya nanti, aku terlahir kembali.
menjadi seseorang yang lebih bijak
yang berjuang untukmu setiap saat
seseorang yang selalu mampu hadir dalam setiap momen dihidupmu
seseorang yang rela melakukan apapun demi tercapainya cita-citamu
menjadi guru terbaik
menjadi sahabat terbaik
menjadi seorang ibu
sepanjang hayatku... 

Sunday, January 29, 2012

- waktu -

23.05 WIB
Kutekan sakelar lampu kamarku, cahaya menyilaukan mataku yang sembab. Angin yang masuk dari jendela sudah berhenti mengibas-ngibas tirai. Kusingkap tirai panjang itu lalu duduk dibaliknya, melipat lututku rapat ke dada, kusinggahkan dagu diatas tungkainya. Aku lebih nyaman seperti ini dari kecil jika ingin sendiri. Aku senang tumbuh bagai pemikir.
Aku sedang berfikir tentang hal-hal yang tak mudah dijelaskan melalui konteks. Dan aku sangat ingin mengabaikannya. Aku ingin harmoni yang lebih fleksibel. Ingin menangkapnya dari hati lewat angin yang kutatap dari balik jendela, karena ku sangat yakin, Tuhan selalu punya jawaban tersirat atas setiap pertanyaan yang kadang tak mudah kita ketahui.

00.01 WIB

Jam dinding berdetak lebih cepat dari detak jantungku. Nelangsa mengambil alih pacunya. Entah mengapa akupun mengalah. Nelangsa ini sangat memegang teguh konsistensinya dalam alur nadiku. Bagiku, cinta yang begitu menyiksa tidak masuk akal. Yang kutahu hanya satu, aku ingin bahagia. Tapi apakah, tetap berdiri disampingmu, mendampingi walau banyak tangis merupakan salah satu dari konsep bahagia?
Sungguh aku tidak ingin tahu jawabannya. Iya, tidak ingin saja.
Aku terlalu bermain-main dalam kenaifan
Mataku menerawang jauh ke langit malam nan megah. Disana tergambar jelas rautmu dan aku. Relung ini masih punya tenaga untuk memutar balik pertemuan pertama kita. Saat itu terjadi reaksi kimia yang bahkan aku dan kamu tak tahu cara mengendalikannya.
Kita bertemu,
Kita jatuh cinta,
Dan saling menyakiti
Dalam lingkaran waktu yang rumit
Padahal kita hanya menjalani takdir Tuhan
Mataku menangkap bayang raut wajah di pantulan kaca jendela
Menatap lurus penuh nanar, yang kulihat hanya wajah takdir itu
Matanya sembab karena tangis. Sinarnya redup, pancaran dari hatinya. Rambutnya kusut, seperti harapannya pada romansa.
Bahunya lunglai. Lelah berjuang untuk bangkit pada seseorang yang justru selalu membuatnya jatuh.
Ironi yang kelihatannya manis.
Berputar waktu dari itu, dia terlihat senyum setegar dan segagah karang
Sebuah muslihat yang membanggakan…
Dari detik membunuh detik sebelumnya, itu yang selalu kulakukan
Padahal aku ingin tetap setia pada kejujuran airmata, yang selalu berhasil mengartikan rasa hati dengan baik.
Namun aku selalu gagal
Kau mengajarkanku berlaku bagai bingkai bibir, berbicara saja, dan biarkan orang lain menebak itu dari hati atau bukan.

01.20 WIB
Kelam mulai terbentuk, malam mulai menunjukkan agungnya. Aku takut tenggelam dalam gelapnya dan gelapmu.
Kau persis seperti wajah malam, menakutkan tapi dicintai…
Aku mencintai dalam palung ketakutan terdalam, sangat menyiksaku
Aku ingin kau mengerti dalam setiap apa yang menggelayut di benakku
Tidak menuntut pembenaran, cukup mengerti saja.
Ingin saat aku terdiam, tidak bisa berkata-kata akibat luapan emosiku
Kau menatap mataku dalam, juga tanpa kata, hanya tersenyum hangat…
Senyum itu, mampu meruntuhkan semua emosi…
Ingin saat seluruh denyut nadiku seakan berhenti dalam batas yang paling rendah
Mataku meredup kehilangan semangat, kakiku seakan melayang tidak menyentuh bumi
Melayang diantara bingung, sedih, dan ingin menyerah…
Cukup kau katakan maaf yang tulus
Yang selama ini hanya kau ucapkan begitu saja
Aku ingin sekali saja, kau abaikan tuntutan hormat, ego, dan benci
Aku ingin menatap matamu dengan yakin akan mendengar maaf yang tulus
Lalu melingkarkan penuh tangan kuatmu di sekeliling bahuku
Memelukku dan membuatku nyaman menangis semalaman
Membisikkan dengan lembut ditelingaku, aku mengerti karena aku mencintaimu…

02.00 WIB
Dalam setiap bulir benakku, tergambar jelas kisahmu
Bagaimana kau tertawa senang, diam, dan bagaimana gerak bibirmu saat mengatakan mencintaiku
Untuk waktu yang terus berjalan mengitari takdir kita
Aku hanya ingin mengatakan
Apapun yang terjadi sekarang dan nanti, dibalik benci, emosi, kebingungan, semangat, dan harapan
Aku bahagia menikmati waktu itu. Raih tanganku, bawa aku ke tempat yang seharusnya, hingga waktu menghabiskan usiaku, aku terus disitu, bersamamu…