Monday, February 7, 2011

SEDERHANA


“Kau mau apa Pri?”

Tiada yang terdengar selain hening yang merajai kita dan sepotong puisi tak selesai. Diantara kita, terbentang bermil-mil jauhnya dinding egosentris.
Aku rasakan hela nafasmu, tapi aku tak tahu muaranya. Atau mungkin karena kau sama seperti ibuku. Berkelamin wanita. Yang katanya, sangat sulit diterka.
Mataku ke arahmu, yang sedang memandang rembulan. Tolong jangan bilang indah. Aku sudah mendengar itu beratus-ratus kali dari mulut setiap wanita. Bulan itu diterangi matahari. Kau mau bilang benalu seperti itu indah?

“Kau mau apa Pri?” dengan nada lebih rendah dari teguran pertama.
Ah, tapi percuma saja. Bukannya menjawab, kau malah membasahi bibirmu dengan lidah.
Membuatku semakin tak berdaya…

Bisakah kau bicara Pri?
Bahkan untuk sekedar memakiku pria bajingan atau hidung belang.
Aku ini apa?
Kekasihmu atau patung yang sedari tadi menemanimu terlentang diatas pasir pantai memandangi langit berombak kelabu.

“Kamu melihat apa diatas sana?”

“Kamu…”
Aku terdiam… memangnya rumahku dilangit?

Wanita rapuhku ini lantas mengepalkan jari-jarinya. Diletakkan diatas telapak tanganku yang terbuka. Lalu kubungkus erat kepalannya dengan jari-jariku.
Pri memang suka begitu. Katanya lebih hangat dan dirajai.

“Setiap aku rindu kamu. Aku selalu melihat langit. Menggerakkan awan-awan itu dengan jariku agar membentuk wajahmu. Lalu kugapai-gapai, supaya bisa mengelusmu.”

Nafasku tertahan. Terlalu rapuh anak kecil ini. Bagaimana aku bisa meninggalkannya sendirian.

“Tapi kamu nggak boleh cemburu dengan langit. Aku tidak menduakanmu seperti kau menduakanku. Aku hanya mencari pelipur.”

Dia tersenyum. Cantik sekali. Seperti pertama kami bertemu waktu kecil dulu. Pipinya bulat seperti apel. Merah merona jika tersipu malu. Apalagi dulu, saat pertama kali kuhadiahkan kupu-kupu. Dalam plastik. Kutangkap. Untuknya saja.

“Bagaimana kabar anak-anakmu? Leah kemarin ulangtahun kan? Kau dan istrimu tidak mengadakan pesta?”
Dia benar-benar tersenyum saat menanyakan ini. Entah untuk apa. Agar terlihat ikhlas, tegar, atau tersiksa.

“Sudahlah Pri. Aku tidak mau membicarakan mereka saat bersamamu. Aku tidak bisa sering menemuimu. Waktu yang singkat ini jangan dihabiskan untuk hal yang tidak penting.”

Wanita ini kembali tersenyum, matanya masih tetap memandangi langit gelap. Kepalan tangannya masih kugenggam.
“Aku kesini hanya untuk minta maaf. Karena beberapa kali aku tidak memenuhi janji menemuimu.”

“Tidak apa. Bukannya aku sudah biasa?”
“Tapi tolong jangan diamkan aku seperti beberapa hari kemarin. Tolong Pri. Aku tidak bisa kehilanganmu…”

Pri masih saja diam. Aku tidak memiliki keberanian untuk berkata lebih banyak. Aku tidak ingin memberikan tekanan lebih kuat lagi.

***

Dua puluh menit berlalu. Kami belum bicara apapun. Hanya bermain dengan fikiran masing-masing. Aku tidak tahu Prisa. Mungkin dia hanya benar-benar diam saja.
Kadang memang itu lebih baik, daripada bicara sesuatu yang belum tentu bisa ditanggung akibatnya. Jadi lebih baik diam.

Aku mengumpulkan banyak kemungkinan jawaban jika kutanya apa maunya. Mungkin dia ingin aku segera bercerai. Mungkin dia ingin bunuh diri saja. Mungkin dia ingin dia yang ditinggal. Mungkin dia ingin menghentikan polemik cinta ini dengan membunuh aktornya. Aku.

Dengan segenap keberanian aku lalu bertanya.
“Pri, kau mau apa?”

Airmata menggantung di sudut kelopaknya.
“Aku ingin dipeluk”


Dan wanita kecilku itu menangis, dipelukanku. Sepanjang malam hingga subuh…

***

No comments:

Post a Comment