Aku masih belum bisa memejamkan mata, kali ini bukan gara-gara kopi...
Lebih karena aku teringat akan AKU...
Dulu, waktu masih pake seragam putih biru dongker, masih pake rok lipit dua
Intensitas menulisku lebih banyak
Jatuh cinta, nulis banyak...
Sakit hati, lebih banyak lagi...
Badmood, nulis juga
Lagi senang, apalagi
Ketakutan, bukannya tidur, malah nulis
Gurunya lagi gak enak, nulis di buku catatan
Lagi gak bisa ngerjain soal, nulis di buku latihan
Sampe mama bilang, buku sekolah kamu, kok kebanyakan tulisan-tulisan kamu daripada pelajarannya?
Tapi sekarang...
Semua waktu tersita oleh hal-hal yang harus kita kejar karena umur kita semakin hari semakin bertambah banyak....
Umur kan cuma angka, 18, 20, 25, 40, 65...
Trus kenapa harus pusing dengan angka?
Jadi, aku melirik bundelan kuning berpita dibawah lemari buku dikamarku
Tempat semua kertas-kertas tulisanku digulung jadi satu
Aku lupa, tulisan pertamaku yang mana...
Ada yang udah rusak, kertasnya hampir koyak
Tulisannya nggak terbaca...
Iya, karena dari dulu sampe sekarang udah zaman notebook
Aku lebih suka nulis di kertas dan pake pensil
Enak aja rasanya klo nulis pake pensil
Bukan karena chairil anwar juga selalu nulis pake pensil, bener...
Selain itu, waktu masih SD, aku juga nulis pake mesin tik, tapi capek...
Dulunya juga kertas-kertas itu aku tempelin ke seisi dinding kamarku
Setiap tulisannya udah selesai, tempel...
Jadi kan bisa terbaca setiap hari, sampe hampir separuh dinding kamarku tempelan kertas semua...
Tapi, dulu mama pernah bilang, “klo kamu emang pengen serius jadi penulis. Mulai sekarang, tabung lah nak uang kamu supaya bisa beli rumah sendiri secepatnya... karena mama nggak bisa bayangin klo dinding kamar kamu udah nggak cukup lagi...” dengan air muka prihatin.
Mana sanggup?
Jadi deh, aku copotin kertas-kertas itu dan disimpan baik-baik...
Sampe aku menemukan tulisan-tulisan lamaku ini...
Yang Kusebut Langit
Dia itu...
Aku menyebutnya ‘langit’
Karena hatinya seluas langit, seputih awan
Nafasnya, udara...
Sosoknya itu, tak mampu dimaknai lewat goresan di atas kertas
Helaan nafasnya hirupanku
Gelantungan bintang pernah memanggilnya sukma
Tapi aku memanggilnya, jiwa...
Dia bilang, tak ada lagi pelangi ungu di setiap kelopak mata
Bila rasa itu sirna dijelangnya fajar
Setiap senti langkahnya adalah permintaanku pada Tuhan
Selalu mengiringinya...
Walau cinta sangat klise
Namun aku mencintainya,
Dari ujung folikel rambut sampai ke ujung kutikula kakinya
Jangan tanya kenapa
Karena jatuh cinta itu simpel.
Dia itu...
Aku hanya mampu menyebutnya ‘langit’
Seseorang yang kuingin Tuhan memastikannya hanya untukku...
Kepulan Tangis...
Disaat sosok tak dapat lagi meraih petang
Tak dapat lagi meringkih berselimut dibawah pekat malam
Di mati! Kaku dari segalanya.
Tak mampu lagi kuraih jiwanya, untuk disuguhkan pada dunia yang sebenarnya
Bagaimana dia akan terbata?
Jika dibibirnya telah direksmi oleh putih
Dimana disaat udara bertuba dia kan bicara
Di – ini malam tak berbintang
Ia menjalin kesedihan dalam keluh kesakitan
Sekali tak pernah ia terpikir, peristiwa akan mencekik di benua duka
Yang ada, akan sudah dipertiada.
Tuhan, jangan jauhkan dulu mimpinya dari rongga malam
Atau dari kalung bintang dan bulan berombak awan ungu
Karena sedang kubuat lagi jelaga diri semesta untuknya
Sekarang rohnya terbang ditimang angin
Sebab jarum kematian telah menusuk detak hatinya
Dan lampion-lampion mengiringi kepergiannya
Kutatap dia untuk terakhir kalinya
Itu tubuh, menggapai dalam pembakaran mentari menyiksa
Aku merenung...
Terkadang ada baiknya kita berduka
Agar terasa betapa gembiranya saat kita bersuka
Terkadang ada baiknya kita menangis
Agar terasa betapa manisnya saat kita tertawa...
No comments:
Post a Comment